Info Massa – Forum Asiprasi Masyarakat Tangerang Utara (FAMTU) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung memantau persidangan kasus mafia tanah terhadap tersangka Djoko Sukamtono.
Koordinator FAMTU, Ahmad Akbar Muafan mengaku pihaknya sudah melakukan upaya bersurat kepada Komisi Yudisal (KY), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi betul proses persidangan perkara tersebut.
“Ini sangat penting untuk menjaga integritas wakil tuhan yakni hakim di Pengadilan Tinggi Banten. Majelis Hakim tolong dengan cermat dan teliti bahwa kami meyakini fakta hukumnya Djoko Sukamtono itu benar bersalah, terbukti dengan dikuatkannya putusan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang,” pungkasnya, Selasa 16 Mei 2023.
Akbar Muafan mengatakan pihaknya meminta kejelasan informasi dari pihak Pengadilan Tinggi Banten saat proses persidangan perkara banding pemalsuan surat terdakwa Djoko Sukomantono itu.
“Kami meminta informasi perkembangan proses persidangannya. Sebab, kami mendapatkan isu bahwa majelis hakim sudah masuk angin dan ada upaya mengurangi hukuman atau bahkan membebaskan pelaku mafia tanah Djoko Sukamtono,” kata Akbar Muafan.
Humas Pengadilan Tinggi Banten Encep Yuliadi, angkat bicara, ia mengatakan terdapat tiga orang majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
“Dipimpin Bambang Sasmito, anggota hakim Efendi Pasaribu dan anggota hakim kedua Posman Baskara. Jadi sekarang masing-masing hakim sedang membaca berkas,” kata Encep Yuliadi.
Menurutnya, tugas pimpinan hanya menunjuk hakim saja, karena di dalam undang-undang hakim diberikan keleluasan dan independensi.
“Pimpinan gak boleh ikut campur apalagi Mahkamah Agung. Jadi independensi nya ada di majelis hakim yang menangani perkara dan bertanggung jawab dihadapan tuhan dan masyarakat,” katanya.
Adanya perkembangan isu terkait indikasi praktik penyuapan, dia mengaku tidak mengetahui atau mendengar hal tersebut. Dalam ulas tersebut ia mengatakan, karena benar atau tidaknya isu tersebut masyarakat yang tahu.
Encep Yuliadi meyakini isu tersebut tidak ada. Dirinya mengklaim lembaga peradilan khusunya di Pengadilan Tinggi Banten gencar menerapkan wilayah bebas dari korupsi (WBK).
“Saya sebagai humas meyakinkan tidak ada, karena saya gak lihat, gak tahu dan gak dengar. Saya gak berani mengatakan oh gak ada, oh ada, gak boleh kan. Tapi saya yakin sampai hari ini tidak ada. Karena ini kan zona WBK, sedang galak-galaknya mengadakan WBK yah,” ucapnya.
Terkait pihak korban melayangkan surat permohonan ke KPK dan Mahkamah Agung guna memantau dan mengawasi kinerja majelis hakim yang mengadili perkara tersebut, pihak Encep Yuliadi mengaku belum berani memberikan komentar banyak karena dirinya belum mendapat ihwal surat tersebut.
“Saya belum berani komentar karena belum terima surat tembusan masuk. Tapi itu hak korban melakukan seperti itu, dari pimpinan atas juga belum ada semacam intruksi, saya juga baru tahu ini dari rekan-rekan,” terang dia.
Encep Yuliadi mengatakan, sebagai humas menjadi mata dan telinganya pimpinan, jika saja sampai ada pemantauan, dirinya baru mengetahui.
Akan tetapi, lanjutnya, jika hanya memantau menurutnya wajar-wajar saja. Sebab kata dia, semua ingin kebenaran jadi tidak ada masalah.
“Kita kan menegakan hukum, kalau memang saya hakim nya saya tidak gentar yang penting kita objektif, clear gak ada apa-apa kalau ingin ada pemantuan silahkan gak ada masalah,” jelasnya.
Dirinya berpendapat bahwa hakim diberikan kebebasan berpikir namun dibatasi kewenangan oleh undang-undang.
“Hakim itu terikat dengan undang-undang, ada bukti dan fakta, jadi walau saya diancam tidak gentar nyawa saya pertaruhkan. Karena kita benar, itu lah hebatnya hakim,” tuturnya.
Mengenai jadwal putusan terjadwal akan digelar pada hari ini. Namun, kata dia bisa juga ditunda.
“Pembacaan putusan saya dengar tanggal 17 Mei (hari ini), tapi itu rencana bisa juga ditunda,” tutur dia.
Sebelumnya terdakwa Djoko Sukamtono telah divonis hukuman penjara dua tahun enam bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang, pada Senin (10/4). Terdakwa terbukti telah melanggar pasal 266 KUHP.
Namun pihak terdakwa melakukan upaya hukum banding dengan teregister nomor perkara 62/Pid/2023/PT.BTN.[]