PSN Menimbulkan Konflik Sosial Dan Pelanggaran HAM: Pembangunan PIK 2 Harus Dihentikan

Nasional

Info Massa – Kamis, 7 November 2024 lalu terjadi peristiwa kerusuhan di Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Kericuhan tersebut, berawal dari insiden kecelakaan truk tanah yang melindas kaki seorang anak.

Truk tanah yang terlibat dalam kecelakaan itu sendiri, merupakan kendaraan proyek pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang oleh Jokowi pada 18 Maret 2024 lalu dinyatakan sebagai bagian dari 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru yang seluruh pembiayaannya berasal dari sektor swasta.

Mengacu pada berbagai pemberitaan, truk dengan muatan tanah tersebut seringkali lalu lalang di pemukiman warga, bahkan di luar jam operasional pembangunan proyek.

Insiden kecelakaan tersebut, akhirnya memantik kericuhan yang berujung dengan ditangkapnya 22 orang warga oleh Polres Metro Tangerang.

Kami menilai bahwa kericuhan yang telah terjadi bukan sekedar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, melainkan wajib dipandang sebagai dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN yang sejak awal sudah diterpa dengan berbagai permasalahan.

Alih-alih mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka upaya penciptaan kerja dan peningkatan kesejahteraan di masyarakat, sebagaimana definisi dari PSN itu sendiri.

Pembangunan PIK 2, justru menimbulkan permasalahan ekonomi sosial, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baru, khususnya bagi warga sekitar yang terdampak.

Lebih lanjut, atas peristiwa di atas, Kami berpandangan sebagai berikut:

Pertama, pembangunan PIK 2 dan penetapan “coastal development” sebagai PSN yang telah menuai berbagai kritik sejak awal, merupakan bagian dari bentuk kebijakan negara yang melegitimasi praktik-praktik perampasan ruang hidup warga, berbagai pelanggaran HAM lainnya oleh sektor privat.

Penetapan PIK 2 sebagai PSN oleh beberapa ahli juga dianggap hanya menguntungkan segelintir orang, ironisnya penetapan tersebut tetap dilakukan atas nama kepentingan nasional.

Implementasi proyek PIK 2, apabila dicermati bahkan kontradiktif dengan dasar hukumnya sendiri. Misalnya, dalam PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang meskipun secara regulasi sudah tertulis dengan baik, namun pada kasus PIK 2, pelaksanaan proyeknya justru memunculkan berbagai persoalan HAM, baik dalam aspek keamanan, sosial, maupun ekonomi, dengan salah satu yang paling terlihat ialah pemiskinan warga.

Praktik-praktik seperti perampasan lahan, penutupan lahan sawah produktif, intimidasi menggunakan aparat maupun kelompok vigilante, hingga kriminalisasi bagi mereka yang menolak pembangunan merupakan fenomena yang umum terjadi pada seluruh kawasan proyek PSN di berbagai wilayah Indonesia.

Pola perampasan lahan dalam konteks pembangunan PIK 2 terjadi dalam bentuk dimintanya warga untuk menerima uang ganti rugi atau harga penjualan yang murah atas lahan mereka.

Tindakan tersebut juga dilakukan dengan unsur paksaan, karena jika ada warga yang berani menolak, maka mereka akan mendapatkan intimidasi aparat pemerintahan lokal (desa), kelompok-kelompok vigilante (Tempo.co, 11 Mei 2024), hingga kriminalisasi, sebagaimana yang dialami oleh Said Didu beberapa waktu lalu.

Kami menilai, pola-pola tersebut tidak seharusnya ada dalam suatu proyek pembangunan atas nama kepentingan nasional, sebab corak yang demikian justru malah menggambarkan upaya sistematis untuk memiskinkan warga secara struktural.

Kedua, dengan berbagai permasalahan HAM baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya, yang terjadi sebagai akibat dari proses pembangunannya, PIK 2 tidak pantas menyandang status PSN, bahkan sedari awal penetapan PIK 2 ke dalam PSN diduga kuat memiliki motif tukar guling politik.

Kedekatan pemilik kongsi bisnis yang membangun PSN dengan beberapa elite, termasuk Joko Widodo saat itu bahkan dapat dilihat sebagai musababnya. Termasuk peranan pemilik kongsi bisnis tersebut dalam investasi di Ibu Kota Negara (IKN) yang secara ambisius didorong pembangunannya oleh pemerintah dengan tergesa-gesa tanpa memperhatikan kepentingan penduduk setempat.

Ketiga, peristiwa kericuhan yang terjadi sebagai kelanjutan dari insiden kecelakaan, tidak dapat dilihat sebagai persoalan hukum an sich atau bahkan tidak dapat dinilai sebagai konflik sosial belaka. Peristiwa ini harus dipandang sebagai ledakan aksi protes warga atas kebijakan pemerintah yang menyengsarakan dan merugikan warga, yang dalam konteks ini merupakan pembangunan PIK 2 sebagai PSN.

Persoalan ekonomi, kesehatan dan sosial, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya yang menyertai pembangunan PIK 2, harus dilihat sebagai tanggung jawab negara, oleh karenanya aparat keamanan seharusnya mengedepankan pendekatan yang persuasif, guna meredam kekacauan. Sayangnya yang terjadi ialah sebaliknya, sebab pada waktu malam di hari yang sama, aparat keamanan malah mengerahkan pasukan Brimob ke Teluknaga. Berdasarkan video yang kami dapatkan, sekitar 100 personil Brimob sambil mengendarai motor trail dilengkapi dengan senjata pengurai massa seperti tameng, pentungan hingga pelontar gas air mata mendatangi lokasi. Hal ini juga berujung pada penangkapan 22 orang warga.

Kami pun menilai bahwa pengerahan anggota Brimob di Teluknaga merupakan bentuk unjuk kekuatan secara berlebihan (Excessive Force) yang justru menebar rasa takut dan teror terhadap warga. Tindakan seperti itu, sebenarnya telah menjadi pola pelanggaran HAM yang dilakukan secara berulang oleh negara, khususnya dalam pelaksanaan PSN yang seringkali menggunakan pendekatan keamanan dengan cara menerjunkan aparat kepolisian hingga tentara.

Pendekatan tersebut, diperparah dengan tindakan kekerasan yang seringkali diterima oleh warga. Alat negara pada akhirnya disalahgunakan, karena aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi warga, sebaliknya justru dipakai dalam rangka merepresi warga yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Keempat, aktif dan masifnya mobilitas truk guna pembangunan PIK 2 yang melintas di lokasi tersebut pun telah melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Tangerang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bupati Nomor 46 Tahun 2018 tentang Pembatasan Waktu Operasional Mobil Barang Pada Ruas Jalan di Wilayah Kabupaten Tangerang.

Mengacu pada Pasal 3 Ayat (1) aturan tersebut, ditegaskan bahwa “Waktu Operasional Kendaraan angkutan barang dibatasi pada pukul 22:00 sampai pukul 05:00 WIB”. Sementara itu, truk tanah pada praktiknya beroperasi juga di luar jam-jam tersebut, sehingga sering terjadi kecelakaan lalu lintas, serta kerusakan jalan maupun dampak lingkungan seperti pemukiman dan jalanan yang berdebu yang membahayakan kesehatan warga setempat.

Kami juga turut simpati yang sebesar-besarnya terhadap korban dengan status anak berinisial ANP (9 tahun) yang ditabrak oleh truk pengangkut tanah PSN PIK 2. Tragedi yang menimpa korban, pada akhirnya harus dinilai sebagai akibat nyata dari kelalaian pihak berwenang yang bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat sekitar. Kecelakaan tersebut pun, tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja, sebab musibah yang menimpa korban dapat dialami juga oleh warga lainnya.

Pemerintah Kabupaten Tangerang dan Perusahaan Terkait, oleh karena itu wajib bertanggung jawab atas terjadinya tragedi itu, khususnya dalam bentuk menjamin sepenuhnya pemulihan kesehatan fisik dan psikis bagi korban, selain itu masa depan ANP sebagai seorang anak juga harus dijamin pemenuhannya, tidak sebatas pada proses pemulihan kesehatannya saja, mengingat tragedi tersebut membawa akibat yang fatal.

Pandangan-pandangan kami di atas sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan proses pembangunan PIK 2, serta berbagai proses pembangunan PSN: Proyek Strategis (baca: Sengsara) Nasional lainnya di berbagai wilayah Indonesia yang menyengsarakan rakyat.

Pembangunan yang nir-partisipatif dan kepentingan rakyat, mengancam kesehatan, keselamatan dan keamanan publik, merusak serta merampas ruang hidup warga, menghancurkan lingkungan hidup, serta menghadirkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka kami menyerukan:

  1. Menuntut Presiden untuk meninjau ulang dan mencabut penetapan status PSN berbagai proyek yang bersumber dari pembiayaan swasta yang berdampak pada perampasan ruang hidup warga, dan melahirkan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya, secara khusus dalam hal ini menghentikan pembangunan PIK 2 dan mencabut statusnya sebagai PSN;
  2. Meminta Presiden memerintahkan Kapolri dan KASAD menghentikan intervensi represif berupa penggunaan kekuatan secara berlebihan dari alat keamanan negara terhadap warga di berbagai wilayah pembangunan PSN di seluruh Indonesia;
  3. Meminta Kapolri memerintahkan Kapolresta Tangerang untuk membebaskan 22 orang warga yang ditangkap, dan mengedepankan pemenuhan standar HAM sebagaimana yang telah dituangkan dalam PERKAPOLRI tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Meminta Bupati Tangerang untuk menghentikan sementara waktu pembangunan PIK 2 dan mengevaluasi operasionalisasi pembangunan yang melanggar peraturan, dan meminta pertanggungjawaban pihak PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. atas dampak permasalahan kesehatan, ekonomi dan sosial yang muncul dari proses pembangunan yang dikerjakan secara serampangan dan melawan hukum.

Jakarta, 10 November 2024
Hormat kami,
LBH Jakarta dan KontraS

Tinggalkan Balasan