Megapolitan
Beranda / Megapolitan / Suara Sipil Sindir 100 Hari Kerja Sachrudin-Maryono Lewat Piagam

Suara Sipil Sindir 100 Hari Kerja Sachrudin-Maryono Lewat Piagam

Poster kritikan 100 hari kerja Sacheudin-Maryono tertanda Suara Sipil Rakyat Kota Tangerang. (Foto: Info Massa/Fiqri).

Info Massa – Beredar kritik satire berbentuk piagam penghargaan untuk Pemerintahan Kota Tangerang yang dipimpin Sachrudin-Maryono oleh Suara Sipil Rakyat Kota Tangerang.

“Serrifikat Penghargaan diberikan Kepada Pemerintah Sachrudin-Maryono atas prestasinya 100 hari kerja sebagai pemimpin gemar seremonial tidak berpihak pada Rakyat Kota Tangerang,” demikian sebagaimana tertulis pada piagam yang dikeluarkan Suara Sipil pada 100 hari masa kerja Sachrudin-Maryono.

Akademisi Kampus STISNU Tangerang, Abdul Hakim, merespons beredarnya piagam Suara Sipil. Menurutnya kritik dengan bentuk poster merupakan pola gerakan New Social Movement.

“Gerakan sosial baru tidak lagi berfokus pada isu ekonomi klasik seperti upah buruh, melainkan pada kritik terhadap ‘governance’, identitas kultural, dan partisipasi publik,” kata Abdul Hakim, Minggu 1/6.

Menurut Hakim, poster ini mendekonstruksi legitimasi kekuasaan, sambil menyoroti isu non-material seperti kebudayaan yang terabaikan dan pembodohan publik melalui program ‘on-the-job training‘.

FAM Tangerang Nilai Kebijakan 100 Hari Kerja Kepemimpinan Sachrudin – Maryono Gagal, Kenapa ?

Kritik ini tidak hanya menuntut kebijakan yang lebih substantif, kata Hakim, tetapi juga menantang gaya kepemimpinan yang dianggap terjebak dalam formalitas tanpa solusi konkret.

Hakim meneruskan bahwa poster yang menyebar di Kota Tangerang yang menyematkan ‘penghargaan’ ironis seperti ‘Juara 1 Pemimpin Gemar Seremonial’—bukan sekadar satire, melainkan cermin kekecewaan warga terhadap janji kampanye yang belum terartikulasi dalam 100 hari pertama kepemimpinan Sachrudin-Maryono.

“Gerakan sipil di balik kritik ini sesungguhnya sedang melakukan ‘accountability tracking’: mengingatkan publik bahwa program 3G (Gampang Kerja, Gampang Sekolah, Gampang Sembako) yang dijanjikan dalam kampanye justru menuai tiga masalah: ketimpangan akses, minimnya inovasi, dan pendekatan yang teknokratik tanpa empati sosial,” tambah Hakim.

Abdul Hakim juga menyoroti pada masa kampanye, duet (Sachrudin-Maryono) ini menjanjikan efisiensi birokrasi dan pemerataan layanan, tetapi poster menyoroti bagaimana ‘Gampang Sekolah’ justru mengabaikan kesejahteraan guru, sementara ‘Gampang Sembako’ tidak menyentuh akar mahalnya harga pangan.

“Kritik terhadap ‘on-the-job training’ yang disebut proyek pembodohan publik juga menarik: program ini dianggap sekadar lip service, alih-alih solusi struktural untuk pengangguran. Gerakan sipil di sini bertindak sebagai ‘watchdog’ yang memaksa pemerintah mengingat bahwa janji kampanye bukanlah slogan, melainkan kontrak sosial,” tegas Hakim ketika menguliti janji kampanye Sachrudin-Maryono.

Kemenkes Bersama PT Merck Deteksi Gangguan Tiroid di 7 Wilayah

Selanjutnya, Hakim mengingatkan yakni poster ini adalah alarm, yang artinya jika pemerintah hanya berpuas diri dengan seremonial dan jargon, sementara masalah warga diabaikan, gerakan sipil tidak akan berhenti pada selebaran—ia bisa berkembang menjadi resistensi yang lebih masif. Tantangan bagi Sachrudin-Maryono bukanlah menghapus poster, melainkan membuktikan bahwa 3G bukanlah tiga huruf kosong. []

Komentar

Tinggalkan Balasan

× Advertisement
× Advertisement