Info Massa – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menyatakan kondisi ekologis Provinsi Riau berada pada tingkat kritis dan berpotensi memasuki fase kerusakan permanen (irreversible damage).
Pernyataan itu disampaikan bersamaan dengan rilis Catatan Akhir Tahun WALHI Riau, yang menyoroti peningkatan deforestasi, kerusakan gambut, konflik agraria, serta semakin dominannya penguasaan ruang oleh korporasi.
57 Persen Daratan Jadi Konsesi IndustriDalam laporan tersebut, WALHI mencatat 57 persen daratan Riau telah dikuasai perusahaan sawit, hutan tanaman industri (HTI), tambang, dan HPH.
Sementara itu, program reforma agraria pemerintah melalui Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) hanya berhasil memberikan akses kelola kepada masyarakat sebesar 2,53 persen dari total daratan.
“Ketimpangan penguasaan ruang di Riau sudah pada level ekstrem. Sebagian besar wilayah produktif telah jatuh ke tangan konsesi industri, sementara ruang hidup masyarakat terus menyempit,” tulis WALHI dalam laporannya dikutip Info Massa, Selasa (2/11).
Deforestasi 2023 Tertinggi dalam Lima Tahun
WALHI mencatat kehilangan hutan alam mencapai 20.698 hektare sepanjang 2023, menjadikannya angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sisa hutan alam Riau kini tinggal 1.377.884 hektare. Laporan itu menyebut deforestasi terutama dipicu ekspansi sawit dan HTI, kegiatan perambahan skala besar, serta legalisasi sawit ilegal melalui kebijakan nasional.
Menurut WALHI, implementasi pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja membuka peluang bagi perusahaan sawit dalam kawasan hutan untuk “memutihkan” statusnya dengan membayar denda administratif.
“Kebijakan ini mendorong percepatan deforestasi karena memberikan sinyal bahwa pembukaan kawasan hutan dapat dilegalkan kemudian hari,” tulis laporan tersebut.
Sawit Menguasai Hampir Setengah Daratan
Selain dominasi industri secara umum, laporan WALHI menyoroti luas perkebunan sawit yang mencapai sekitar 3,39 juta hektare berdasarkan data pemerintah, dan bahkan 4,17 juta hektare berdasarkan riset lain, atau setara hampir setengah daratan Riau.
Ekspansi sawit disebut memicu hilangnya hutan alam, degradasi kualitas sungai, serta konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan.
Kerusakan Gambut dan Kebakaran Berulang
Gambut Riau, yang merupakan salah satu kubah gambut terdalam di Indonesia, disebut berada dalam kondisi paling rentan. Pembukaan kanal oleh industri HTI dan perkebunan sawit menyebabkan pengeringan gambut, yang kemudian memicu kebakaran berulang setiap musim kemarau.
Meski laporan tidak mencantumkan total luas karhutla secara rinci, WALHI memastikan pola kebakaran tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya: “Titik-titik api sebagian besar berada dalam atau di sekitar kawasan konsesi perusahaan.”
Sungai-Sungai Utama dalam Kondisi Tercemar
WALHI melaporkan menurunnya kualitas air di Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri akibat kombinasi limbah industri dan penggundulan hutan di daerah tangkapan air.
“Secara ekologis, kondisi ini menunjukkan Riau sudah memasuki fase kerentanan tinggi. Sungai tidak lagi berfungsi sebagai penyangga kehidupan seperti sebelumnya,” tulis WALHI.
Ancaman Kerusakan Permanen
WALHI memperingatkan bahwa gabungan deforestasi, degradasi gambut, ekspansi sawit, dan ketimpangan tata ruang dapat membawa Riau menuju irreversible damage, yaitu kerusakan ekologis yang tidak bisa dipulihkan meskipun kegiatan industri dihentikan.
Beberapa indikator yang disebutkan antara lain:
- sisa hutan alam yang berada di bawah ambang batas minimal ekologis,
- gambut rusak yang tidak dapat pulih dalam rentang waktu manusia,
- monokultur sawit dan HTI yang mendominasi hampir setengah provinsi,
- siklus air terganggu secara sistemik.
“Jika pola ini dibiarkan, Riau berpotensi menjadi provinsi pertama yang mengalami keruntuhan ekologis permanen di Indonesia,” tulis WALHI.
Seruan Perubahan Kebijakan
WALHI mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan langkah-langkah struktural, seperti:
- moratorium izin sawit dan HTI baru,
- penindakan hukum perusahaan yang merusak lingkungan,
- restorasi gambut berbasis ekohidrologi,
- perlindungan ketat sisa hutan alam,
- dan redistribusi ruang kepada masyarakat.
Komentar