Info Massa – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan Pulau Sumatera telah memasuki fase krisis ekologis akut akibat laju deforestasi, perluasan izin industri ekstraktif, dan lemahnya pengelolaan sumber daya alam.
Kesimpulan tersebut dipaparkan dalam Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Region Sumatera yang dirilis WALHI dan dianalisis dari delapan provinsi di Sumatera.
Dalam laporan itu, WALHI menegaskan bahwa kerusakan lingkungan telah berlangsung secara sistemik. Pulau Sumatera dibebani izin skala besar berupa Hak Guna Usaha (HGU) sawit seluas 2,3 juta hektare, konsesi tambang 2,43 juta hektare, dan izin kehutanan mencapai 5,67 juta hektare. Sepanjang 2023, deforestasi tercatat mencapai 119.626 hektare, sementara kebakaran hutan dan lahan melanda 141.522 hektare.
Aceh Butuh 171 Tahun Memulihkan Hutan
Aceh menjadi salah satu wilayah dengan kerusakan terparah. Dalam rentang 2015–2022, Aceh kehilangan 130.743 hektare hutan, sementara kemampuan reboisasi pemerintah hanya 785 hektare per tahun.
Dengan laju tersebut, WALHI menyebut Aceh membutuhkan waktu 171 tahun untuk memulihkan hutan jika deforestasi dihentikan total mulai sekarang.
Selain itu, Aceh menghadapi kerusakan berat pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari 954 DAS, sebanyak 20 DAS masuk kategori kritis. DAS Singkil kehilangan 820.244 hektare tutupan hutan, dan DAS Jambo Aye tercatat kehilangan 214.378 hektare atau 45 persen wilayahnya.
Kerusakan ini diperparah oleh maraknya PETI yang merambah lebih dari 3.500 hektare, sebagian besar berada di kawasan hulu dan hutan lindung.
Sumatera Utara: Konflik Agraria dan Ekosistem Batang Toru Tertekan
Di Sumatera Utara, WALHI mencatat 18 kasus konflik SDA dan agraria dengan luas terdampak mencapai 18.141 hektare. Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru juga disebut berada dalam kondisi terancam karena 80 persen kawasannya telah diberikan kepada konsesi panas bumi, PLTA, tambang, dan logging.
Sepanjang 2023, Sumut mengalami 40 bencana ekologis, didominasi banjir dan longsor, yang menyebabkan 22 orang meninggal, lebih dari seribu warga mengungsi, serta merusak rumah dan infrastruktur.
WALHI menilai bencana yang berulang sebagai dampak langsung menurunnya tutupan hutan di daerah tangkapan air.
Riau: 57 Persen Daratan Dikuasai Investasi
Riau tercatat sebagai provinsi dengan ketimpangan penguasaan ruang paling besar. WALHI melaporkan 57 persen wilayah daratan dikuasai korporasi, termasuk 273 perusahaan sawit, 55 konsesi HTI, dan 19 perusahaan tambang.
Pada saat yang sama, masyarakat hanya menguasai 2,53 persen ruang melalui skema reforma agraria dan perhutanan sosial.
Riau juga mengalami deforestasi 20.698 hektare pada 2023, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
WALHI menilai tren ini dipicu ekspansi industri kayu, sawit, dan kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan yang dilegalkan UU Cipta Kerja.
Kritik Kebijakan Negara dan Seruan Moratorium Izin
Dalam laporannya, WALHI menilai pemerintah gagal mengendalikan kerusakan lingkungan akibat dominasi kebijakan yang memihak investasi ekstraktif.
Regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan aturan turunan terkait perizinan disebut memperparah ketimpangan penguasaan ruang serta menghambat perlindungan ekosistem esensial.
WALHI juga mencatat 827 warga dikriminalisasi selama rezim sebelumnya dalam konflik agraria, serta 687 kasus kriminalisasi masyarakat adat.
Sebagai langkah pemulihan, WALHI mendesak pemerintah:
• melakukan audit total seluruh izin industri di kawasan hulu;
• menetapkan moratorium izin baru;
• menghentikan proyek ekstraktif di ekosistem esensial;
• mempercepat pemulihan DAS dan rehabilitasi hutan;
• serta memperkuat penegakan hukum terhadap perusahaan perusak lingkungan.
WALHI memperingatkan bahwa tanpa intervensi kebijakan yang tegas, Sumatera akan menghadapi eskalasi bencana ekologis yang semakin sering, semakin besar, dan semakin mengancam keselamatan warga.[]
Komentar