Ekonomi Nasional
Beranda / Nasional / Proyek Besar ‘Waste To Energi’ Ada Potensi Bakar Duit Negara ?

Proyek Besar ‘Waste To Energi’ Ada Potensi Bakar Duit Negara ?

Penampakan gunung sampah yang sudah over kapasitas. (Foto: Info Massa/Istimewa).

Info Massa – Ambisi pemerintah membangun proyek waste-to-energy (WtE) atau pengolahan sampah menjadi listrik di 33 provinsi Indonesia kian menuai sorotan. Alih-alih menjadi solusi, skema bisnis dan tata kelola yang tidak matang dikhawatirkan justru menjadi beban baru bagi keuangan negara.

Tarik-Ulur Skema Pembiayaan

Proyek PLTSa ini disebut akan dibiayai oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu ditegaskan Menko Pangan Zulkifli Hasan yang menyebut semua proyek WtE akan masuk dalam portofolio Danantara.

Pernyataan tersebut berbeda dengan yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyebut PLTSa sempat diproyeksikan memakai dana APBN. “Di Danantara semua. WtE itu tidak pakai APBN,” tegas Zulkifli mengutip dari Bisnis, Sabtu (20/9).

Hingga kini, pemerintah tengah menyiapkan revisi Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan PLTSa. Salah satu poin krusial revisi adalah penghapusan tipping fee atau biaya yang dibayarkan pemerintah daerah kepada pengelola. Sebagai gantinya, Pemda wajib menyiapkan lahan serta menjamin ketersediaan sampah sebagai bahan baku setidaknya untuk 20 tahun.

‘Banalitas Otoritarianisme’ Cak Sukidi: Demokrasi Bisa Mati dari Dalam

Risiko Bagi PLN dan Negara

Meski diproyeksikan menjadi solusi tumpukan sampah nasional—yang mencapai 33,8 juta ton per tahun—sejumlah pakar menilai proyek ini rawan menimbulkan kerugian.

Staf Pengajar UGM, Tumiran, menegaskan bahwa tanpa tata kelola sampah yang baik, proyek PLTSa sulit berjalan secara ekonomis. “Jangan sampai pengelolaan sampah dari hulu sampai TPA dibebankan ke pengembang. Itu costly dan tidak mungkin secara ekonomi. Kalau dipaksakan, kerugian akan dibebankan ke PLN atau negara,” ujarnya.

Hal senada diungkap Bhima Yudhistira dari Celios. Menurutnya, investasi PLTSa jauh lebih mahal dibanding pembangkit energi terbarukan lain, seperti PLTS atap atau PLTMH. “Biayanya bisa mencapai US$5 juta hingga US$13 juta per unit, ditambah tantangan pemilahan sampah yang selama ini masih minim di Indonesia,” katanya.

Sampah Indonesia: Basah, Mahal, dan Rumit

Uang Wasilah PPPK: Bantahan Kemenag Kota Tangerang Dipertanyakan, Dugaan Jalur Uang Mulai Terkuak

Selain persoalan biaya, karakteristik sampah Indonesia turut menjadi hambatan. CEO IESR, Fabby Tumiwa, menyoroti bahwa 70% sampah Indonesia bersifat organik dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah. Kondisi ini membuat sampah sulit langsung dibakar tanpa proses pra-pengolahan yang membutuhkan biaya tambahan.

“Kalau pemerintah ingin target 100% bebas sampah 2029 tercapai, puluhan fasilitas WtE harus dibangun serentak setiap tahun. Tapi strategi harus tepat, jangan hanya WtE, melainkan solusi komprehensif yang konsisten,” ujarnya.

Jalan Panjang Menuju 2029

Proyek PLTSa sejatinya bagian dari target RPJMN 2020–2029, yakni transformasi 343 TPA open dumping menjadi sanitary landfill, pembangunan 250 TPST, 42.000 TPS3R, serta fasilitas RDF dan WtE di 33 kota. Total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp300 triliun.

Namun, perbedaan persepsi antar kementerian, rumitnya skema bisnis, hingga beban pemda dalam menjamin lahan dan feedstock menjadi pekerjaan rumah besar. Jika tidak diantisipasi, proyek megah ini hanya akan berhenti di atas kertas, sementara negara kembali “bakar duit” demi solusi yang tak kunjung tuntas.[]

Ternyata Ahmad Sahroni Ngumpet di Toilet Selama 7 Jam Saat Rumahnya Dijarah Massa

× Advertisement
× Advertisement