Info Massa – Sebuah kuliah singkat berdurasi tujuh menit di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pekan lalu mendadak viral di jagat media.
Cak Sukidi, intelektual Muhammadiyah sekaligus pemikir kebhinekaan, yang memantik diskusi luas lewat tesis yang ia sebut sebagai ‘Banalitas Otoritarianisme’ di Indonesia.
Di hadapan audiens, Sukidi membuka dengan peringatan keras: “Hari ini hantu lain berkentayangan di Republik kita, hantu itu bernama otoritarianisme.” tegas Sukidi, dikutip saat peluncuran Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi (Prisma) bersama Laboratorium Indonesia 2025 (LAB 45), Jum’at (26/9).
Menurut Cendekiawan Muhammadiyah ini, otoritarianisme tidak selalu hadir dengan wajah kasar dan brutal. Sebaliknya, ia bekerja secara banal halus, tersembunyi, dan tampak seolah normal melalui mekanisme demokrasi itu sendiri.

Lima Mekanisme Otoritarianisme
Sukidi kemudian mengurai lima mekanisme yang, menurutnya, menandai wajah otoritarianisme Indonesia hari ini:
1. Pemilu sebagai instrumen kekuasaan.
Pemilu, kata Sukidi, bukan lagi sarana memperkuat demokrasi, melainkan justru alat melanggengkan rezim. Ia mencontohkan penggunaan institusi negara, terutama kepolisian, untuk kepentingan elektoral.
2. Koalisi super mayoritas di parlemen.
Presiden membangun koalisi besar yang membuat DPR kehilangan fungsi pengawasan.
“Parlemen menjadi stempel keberlangsungan otoritarianisme kompetitif,” jelas Sukidi, meminjam istilah Budiman Tanurejo.
3. Persenjataan birokrasi.
Merujuk Levitsky dan Lucan Way, lanjut Sukidi menyebut birokrasi dijadikan alat patrimonial dan korup demi mendukung kebijakan populis menipu.
“Populisme tidak akan membawa kita pada kemajuan apapun, tetapi hanya bentuk tipu daya kepada masyarakat,” tegasnya.
4. Persenjataan hukum.
Aparat penegak hukum, menurutnya, dipakai untuk menghukum lawan politik, mengkonsolidasi loyalitas, hingga menyandera pihak internal maupun eksternal kekuasaan.
5. Aliansi kotor dengan kekuatan uncivil Islam.
Kelompok Islam yang semestinya berperan sebagai penopang demokrasi justru bersekutu dengan pemerintah otoriter, meninggalkan fungsi civil Islam dan berubah menjadi pilar kekuasaan.
Pelajaran Sejarah
Sukidi mengingatkan tentang sejarah Jerman tahun 1933. Adolf Hitler terpilih secara sah lewat pemilu, namun hanya empat pekan setelah berkuasa ia membunuh demokrasi dari dalam.
“Sejarah memang tidak berulang, tapi sejarah memberikan pelajaran bagaimana demokrasi mati justru di tangan presiden yang terpilih melalui instrumen demokrasi,” kata Sukidi mengacu pada pemikiran sejarawan Timothy Snyder.
Resistensi Politik
Menutup kuliahnya, Sukidi mengutip Henry David Thoreau tentang resistensi politik non-kekerasan. Baginya, ketika kanal formal gagal, rakyat memiliki legitimasi moral untuk menolak dan melawan secara damai.
“Ini adalah resistensi politik terhadap kegagalan pemerintahan yang besar,” ujar sukidi.
Viral di Media Sosial
Paparan singkat Sukidi kini ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak warganet menilai, kelima argumen yang ia sampaikan bukan sekadar teori, tetapi realitas yang sudah terjadi di Indonesia hari ini.[]
Komentar