Info Massa — Gelombang protes yang dipimpin anak muda generasi Z di Maroko memasuki malam keenam dengan situasi kian memanas. Kerusuhan pecah di sejumlah kota besar setelah aparat keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan tiga orang, Rabu (1/10) malam.
Menurut laporan Reuters dan The Guardian, bentrokan terjadi di wilayah Leqliaa, dekat Agadir, ketika massa mencoba menyerbu markas gendarmerie.
Aparat menyebut tindakan penembakan dilakukan karena demonstran berusaha mengambil alih senjata dari pos keamanan. Namun, versi ini dipertanyakan oleh aktivis dan saksi yang menyebut aksi aparat berlebihan.
Gerakan yang dikenal dengan nama GenZ 212 lahir dari kemarahan publik setelah kasus kematian delapan perempuan akibat komplikasi persalinan di rumah sakit publik Agadir.
Menurut laporan Associated Press (AP), para demonstran menuntut perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan, pemberantasan korupsi, serta penataan ulang prioritas pembangunan. Pemerintah dinilai terlalu fokus pada infrastruktur olahraga menjelang Piala Dunia 2030, sementara kebutuhan dasar masyarakat terabaikan.
Slogan seperti “Ada stadion, tapi di mana rumah sakit?” bergema dalam aksi di Casablanca, Rabat, Tangier, hingga Sale.
Data dari Kementerian Dalam Negeri Maroko yang dikutip Al Jazeera mencatat lebih dari 400 orang ditangkap dalam kerusuhan. Hampir 300 orang terluka, sebagian besar aparat keamanan, namun korban sipil juga dilaporkan jatuh.
Kerusakan material meluas: puluhan bank dan ATM dirusak, kendaraan dibakar, hingga kantor publik diserang. Di beberapa kota, aksi protes berubah menjadi penjarahan. Namun, sejumlah saksi menyebut pelaku perusakan bukan bagian dari inti gerakan GenZ 212, melainkan kelompok preman lokal yang memanfaatkan situasi.
Perdana Menteri Aziz Akhannouch menyatakan pemerintah terbuka untuk berdialog dengan para pemuda. “Kami mendengarkan aspirasi mereka,” ujarnya, seperti dilaporkan Reuters.
Namun, ia juga menegaskan bahwa tindakan tegas akan diambil terhadap pelaku kekerasan dan penjarahan.
Sementara itu, kelompok GenZ 212 menegaskan bahwa mereka menyerukan aksi damai dan menolak kekerasan, meski tuntutan tetap akan diperjuangkan.
Menurut Le Monde, gerakan ini tidak memiliki pemimpin tunggal dan bersifat terdesentralisasi, dengan mobilisasi dilakukan melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Discord.
Financial Times menilai, gelombang protes ini menjadi salah satu yang terbesar sejak Hirak Rif 2016–2017, ketika ribuan warga memprotes ketidakadilan sosial pasca kematian seorang pedagang ikan.
Kini, keterlibatan generasi Z menunjukkan semakin kuatnya ketidakpuasan sosial, dengan isu pengangguran pemuda, akses kesehatan, dan ketimpangan pembangunan menjadi bahan bakar utama.[]
Komentar