Info Massa — Bau anyir korupsi kembali menyeruak dari tubuh lembaga keuangan milik daerah. Kali ini, aroma busuk itu datang dari Perumda Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Indra Arta Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Di balik tumpukan berkas kredit macet dan penghapusan buku senilai miliaran rupiah, penyidik menemukan jejak dua politisi DPRD Riau yang diduga ikut bermain dalam pusaran penyimpangan dana publik.
Dua nama itu disebut berasal dari PAN dan PKS kini tengah dibidik oleh tim pidana khusus Kejari Inhu. Keduanya bukan nama kecil. Saat kasus bermula, mereka duduk di kursi DPRD Inhu periode 2014–2019, dan kini melenggang ke parlemen tingkat provinsi.
Jejak keduanya terekam dalam daftar debitur “istimewa” BPR Indra Arta — debitur yang diduga menerima pinjaman tanpa agunan sah dan tanpa proses survei lapangan.
Sumber di internal penegak hukum menyebut, dua anggota DPRD itu termasuk dalam kategori “debitur prioritas”, yang kreditnya diloloskan atas dasar hubungan politik dan kedekatan pribadi dengan pengelola bank.
Pinjaman Tanpa Agunan, Penghapusan Buku, dan Kolusi Terencana
Kejari Inhu telah menetapkan sembilan tersangka utama, mulai dari direktur, pejabat kredit, hingga teller dan debitur nakal. Namun di luar daftar itu, ada nama-nama “berpengaruh” yang masih disimpan rapat oleh penyidik.
“Pemberian kredit dilakukan di luar prosedur. Ada pinjaman atas nama orang lain, agunan berbeda nama, hingga agunan tanpa hak tanggungan. Bahkan, ada pencairan pinjaman tanpa survei sama sekali,” ujar Plt Kajati Riau Dedie Tri Haryadi, Kamis (2/10/2025).
Akibat ulah kolektif itu, 93 debitur macet, 75 kredit dihapus buku, dan kerugian negara mencapai Rp15 miliar. Sebagian besar dana tersebut menguap lewat kredit fiktif yang sejak awal tak pernah dimaksudkan untuk dibayar kembali.
Politisi Sebagai Debitur “Istimewa”
Dua legislator Riau dari PAN dan PKS itu diduga ikut menikmati skema pinjaman “kilat” tanpa prosedur hukum. Salah satu dari mereka disebut menggunakan pinjaman atas nama orang lain untuk menutupi utang pribadi. Sementara satu lainnya diduga menekan pejabat bank untuk mempercepat pencairan pinjaman tanpa dokumen lengkap.
Keduanya, menurut hasil penyelidikan, memanfaatkan posisi politik dan pengaruh di daerah untuk memperoleh fasilitas kredit yang semestinya diperuntukkan bagi pelaku usaha kecil.
“Kasus ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Ini kolusi politik dengan aroma kuat penyalahgunaan jabatan,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Inhu, Leonard Sarimonang Simalango, dikutip dari iniriau.com (6/10/2025).
Leonard menyebut, pola penyimpangan di BPR Indra Arta sudah berlangsung lebih dari satu dekade dari 2014 hingga 2024 dan dijalankan seperti sistem bayangan di dalam lembaga resmi.
“Direktur dan pejabat eksekutif tahu persis kredit itu bermasalah, tapi tetap diloloskan karena ada tekanan eksternal,” ujarnya.
Jejak Uang yang Hilang dan Ancaman Tutup Buku
Hasil audit internal menunjukkan, dana kredit yang macet itu tidak berhenti di tangan debitur. Sebagian dana ditarik kembali dalam bentuk setoran tunai kepada pejabat bank dan pihak luar — sebuah pola klasik mark-up kredit yang kerap digunakan untuk mencuci dana publik.
Satu debitur, berinisial KH, bahkan diketahui menggunakan tiga identitas berbeda untuk mengajukan pinjaman pribadi.
“Ini jelas praktik penipuan terstruktur yang tak mungkin berjalan tanpa restu dari orang dalam,” ungkap seorang penyidik yang enggan disebutkan namanya.
Dari total Rp15 miliar kerugian negara, baru sekitar Rp1,08 miliar yang dikembalikan oleh 17 debitur. Sisanya, 131 orang masih belum melunasi kewajibannya.
“Kami beri batas waktu sampai Jumat, 10 Oktober 2025. Setelah itu, semua akan kami bawa ke ranah hukum tanpa kompromi,” tegas Leonard.
Oknum DPRD dan ASN dalam Jaringan Kredit Bodong
Kejari Inhu memastikan, daftar debitur bermasalah bukan hanya dari kalangan masyarakat biasa.
“Dari hasil penyelidikan, ternyata debitur banyak dari kalangan ASN hingga oknum anggota DPRD,” ujar Kajari Inhu Winro Tumpal Halomoan Haro Munthe, melalui Kasi Intelijen Hamiko, dikutip dari Riaupos.co (4/10/2025).
Menurut penelusuran, sebagian debitur aktif adalah mantan pejabat daerah yang kini menjabat di komisi bidang keuangan DPRD Riau. Mereka diduga menjadi “penyangga” finansial jaringan kredit bodong ini — sebuah sistem yang mengandalkan relasi kekuasaan untuk meloloskan dana publik.
Analisis Redaksi | Politik Uang Daerah: Skema Lama, Wajah Baru
Kasus BPR Indra Arta memperlihatkan wajah lama korupsi daerah: penyalahgunaan lembaga keuangan publik untuk kepentingan elite politik.
Bank daerah, yang seharusnya menjadi motor ekonomi rakyat kecil, justru berubah menjadi ATM pribadi bagi pejabat dan politisi yang punya akses kekuasaan.
Skandal ini juga membuka tabir tentang lemahnya pengawasan dan budaya impunitas di lingkaran politik lokal. Di saat lembaga pengawas sibuk mengamankan posisi, uang rakyat mengalir ke kantong pribadi melalui kredit tanpa agunan dan pinjaman fiktif.
Jika dua anggota DPRD Riau itu terbukti terlibat, maka kasus ini bukan lagi sekadar penyimpangan teknis melainkan korupsi politik sistemik yang merusak akar kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan parlemen daerah.
Komentar