“Pendidikan seharusnya memerdekakan manusia. Namun kini, ia justru menjadi alat yang menindasnya.”
— Paulo Freire (1970)
Pendidikan tinggi di Indonesia hari ini sedang menghadapi krisis makna. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pemanusiaan, kini berubah menjadi pabrik pencetak tenaga kerja murah. Di bawah jargon link and match, universitas diarahkan agar menghasilkan lulusan yang “siap pakai” untuk industri bukan manusia yang berpikir kritis.
Namun, kenyataannya berkata lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas mencapai 5,6%, sementara 63% pekerja muda berpendidikan tinggi bekerja di sektor informal dengan pendapatan di bawah UMP.
Sarjana yang diharapkan menjadi motor kemajuan bangsa justru menjadi bagian dari kelas pekerja tertindas. Mereka magang tanpa bayaran, bekerja kontrak dengan upah minim, dan hidup dalam ketidakpastian.
Sebagaimana Karl Marx, dalam Das Kapital (1867), menjelaskan bahwa tenaga kerja dalam sistem kapitalisme diperlakukan seperti komoditas: nilainya ditentukan oleh biaya reproduksinya, bukan harkat kemanusiaannya. Pendidikan kemudian dijadikan sarana untuk memproduksi tenaga kerja yang sesuai kebutuhan pasar.
Dalam logika kapitalisme, istilah seperti “daya saing” dan “efisiensi” terdengar positif, padahal di baliknya tersembunyi makna penekanan upah dan eksploitasi tenaga kerja.
Mahasiswa hari ini tidak lagi belajar karena dorongan intelektual, tetapi karena tuntutan pasar kerja. Kampus menjadi ruang pelatihan teknokratis yang melahirkan manusia-manusia adaptif bukan revolusioner.
Louis Althusser (1970) menegaskan bahwa sekolah dan universitas berfungsi sebagai aparatus ideologis negara. Melalui kurikulum, evaluasi, dan disiplin birokratis, mahasiswa dilatih untuk tunduk pada otoritas dan menerima ketimpangan sebagai sesuatu yang “normal”.
Nilai-nilai seperti kompetisi, efisiensi, dan profesionalisme menjadi norma baru yang menanamkan false consciousness. Mahasiswa diajarkan untuk percaya bahwa kesuksesan hanya ditentukan oleh kerja keras pribadi, bukan oleh struktur sosial.
Padahal, dalam realitasnya, pendidikan yang bermutu tetap menjadi hak istimewa bagi mereka yang memiliki modal ekonomi.
Dengan demikian fenomena sarjana kontrak dan pekerja kreatif lepas menggambarkan apa yang disebut Guy Standing (2011) sebagai kelas precariat dimana kelompok pekerja berpendidikan tinggi dengan pendapatan rendah dan status kerja tidak tetap. Mereka disebut “profesional muda”, tapi hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan psikologis.
Eksploitasi yang dulu keras kini berubah menjadi halus, dibungkus dalam retorika motivasi diri dan personal branding.
Inilah wajah kapitalisme baru: eksploitasi yang tersenyum, penindasan yang dikemas dengan kata “peluang”.
Adapun sebagai antitesis terhadap sistem pendidikan kapitalistik, Paulo Freire menawarkan gagasan pendidikan pembebasan. Ia menolak model banking education dimana guru mentransfer pengetahuan secara satu arah kepada siswa pasif.
Bagi Freire, pendidikan sejati adalah dialog, kesadaran kritis dan praksis yakni tindakan reflektif untuk mengubah dunia yang dinilai tidak berpihak.
Di konteks Indonesia, pendidikan pembebasan berarti mengembalikan kampus menjadi ruang berpikir kritis dan solidaritas sosial, bukan ruang kompetisi dan sertifikasi.
Jika pendidikan terus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka kampus tidak lagi berfungsi sebagai mercusuar peradaban, melainkan sebagai subkontraktor industri. Universitas kehilangan jiwanya sebagai benteng nalar kritis, dan sarjana kehilangan maknanya sebagai agen perubahan.
Sudah saatnya kita bertanya ulang: untuk siapa pendidikan dijalankan? Apakah untuk kemanusiaan, atau untuk akumulasi modal? Jawabannya menentukan arah bangsa ini.
Karena pendidikan sejati tidak pernah netral. Ia selalu berpihak apakah kepada manusia, atau kepada modal. Sarjana yang berpihak pada kemanusiaan tidak akan diam di tengah ketidakadilan. Ia akan berpikir, menulis, dan berjuang.
“Sarjana sejati bukan yang tunduk pada logika pasar, tetapi yang menolak menjadi alat eksploitasi. Ia berpihak pada manusia dan pembebasan.”
Komentar