Nasional
Beranda / Nasional / Gelar Pahlawan Soeharto, Martil Raksasa yang Merobohkan Pilar Keempat Demokrasi

Gelar Pahlawan Soeharto, Martil Raksasa yang Merobohkan Pilar Keempat Demokrasi

Info Massa — Keputusan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada H.M. Soeharto memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan, salah satunya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Dalam siaran pers yang dirilis pada Senin, 10 November 2025, LBH Pers menilai keputusan tersebut merupakan bentuk penistaan negara terhadap sejarah perjuangan kebebasan pers di Indonesia dan tamparan keras bagi nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.

Langkah Presiden Prabowo tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Menurut LBH Pers, keputusan ini justru mengabaikan rekam jejak kelam Soeharto yang selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya dikenal melakukan represi sistematis terhadap kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

“Pemberian gelar pahlawan kepada figur yang justru membungkam kebebasan pers sama saja dengan merobohkan pilar keempat demokrasi. Ini bukan penghormatan terhadap jasa, melainkan pelecehan terhadap sejarah perjuangan kebebasan berekspresi,” tegas LBH Pers dalam pernyataannya.

Rezim yang Membungkam Pers

DPAD Kota Tangerang Kembangkan Arsip Daerah Jadi Literatur Sejarah di Festival Cisadane 2025

LBH Pers mengingatkan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pers dan jurnalis hidup di bawah tekanan dan kontrol penuh negara. Melalui mekanisme Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), rezim Soeharto membungkam media yang dianggap kritis terhadap pemerintah.

Beberapa peristiwa represif yang menjadi catatan kelam antara lain:

1974: Harian Indonesia Raya dibredel setelah memberitakan dugaan korupsi proyek pembangunan dan peristiwa Malari. Pemred Mochtar Lubis ditahan tanpa proses hukum adil.

1978: Pembredelan terhadap media mahasiswa seperti Gelora Mahasiswa, Balairung, dan Arena UGM pasca-penolakan terhadap terpilihnya Soeharto untuk ketiga kalinya.

1994: Pembredelan tiga media besar Tempo, Editor, dan Detik usai memberitakan polemik pembelian kapal perang bekas Jerman Timur oleh BJ Habibie.

DPR Sebut Gaji Tambahan Kepala Daerah Bukan Jaminan Cegah Korupsi

Semua tindakan tersebut, menurut LBH Pers, merupakan bukti bahwa Soeharto menggunakan kekuasaan untuk menindas kritik dan menjadikan media sebagai alat propaganda negara.

Penganugerahan yang Menodai Reformasi

Reformasi 1998 menjadi momentum lahirnya kembali kebebasan pers di Indonesia, yang kemudian dijamin melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, LBH Pers menilai, keputusan Presiden Prabowo justru mengkhianati semangat reformasi dan nilai-nilai keadilan sejarah.

“Ketika pelaku represi terhadap kebebasan pers justru diberi gelar pahlawan, maka negara telah menutup mata terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Ini bukan penghormatan, tapi pengingkaran terhadap demokrasi,” lanjut pernyataan LBH Pers.

LBH Pers menegaskan bahwa kebebasan pers adalah pilar keempat demokrasi yang harus dilindungi dari intervensi politik dan tekanan kekuasaan. Dengan dianugerahkannya gelar pahlawan kepada Soeharto, LBH Pers menilai, pemerintah secara simbolik menghantam pilar demokrasi itu sendiri seperti martil raksasa yang merobohkan rumah kebebasan.

Kosmak Tuntut KPK Tangkap dan Adili Jampidus Kejagung

Tiga Tuntutan LBH Pers

Sebagai bentuk sikap tegas, LBH Pers menyampaikan tiga desakan utama kepada pemerintah:

  1. Mendesak Presiden RI untuk mencabut Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada H.M. Soeharto.
  2. Menuntut Presiden dan Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk meminta maaf secara terbuka kepada insan pers dan masyarakat atas keputusan yang melukai perjuangan kebebasan pers.
  3. Menegaskan komitmen negara untuk melindungi kebebasan pers dari intervensi politik serta menolak segala bentuk upaya rehabilitasi terhadap figur represif masa lalu.

LBH Pers menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah tidak memutar balik sejarah demi kepentingan politik sesaat.

“Demokrasi tidak akan pernah tumbuh dari lupa. Menjadikan Soeharto pahlawan berarti menormalisasi represi dan mengkhianati pengorbanan mereka yang berjuang demi kebebasan.”

    Berita Terkait

    Komentar

    Tinggalkan Balasan

    × Advertisement
    × Advertisement