Info Massa – Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah menandai salah satu momen paling signifikan dalam politik memori Indonesia pascareformasi. Keputusan ini bukan sekadar penambahan nama dalam daftar panjang tokoh negara yang dihormati. Ia adalah langkah simbolik, yang mencerminkan bagaimana negara memilih membaca sejarah, menentukan mana yang layak dikenang, dan mana yang dipinggirkan.
Dalam banyak negara, gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan moral tertinggi. Karena itu, pemberian gelar kepada seorang tokoh yang rekam jejaknya begitu kompleks segera memicu pertanyaan lebih besar: apa yang sedang coba disampaikan negara melalui penobatan ini?
Dan yang tak kalah penting: apa konsekuensinya bagi ingatan kolektif bangsa?
Narasi Pembangunan dan Simplifikasi Sejarah
Sejak Orde Baru berakhir, perdebatan tentang warisan Soeharto tidak pernah benar-benar selesai. Pendukungnya selalu kembali menawarkan narasi pembangunan: stabilitas ekonomi, pertumbuhan pesat, program pangan, dan keberhasilan menjaga ketertiban sosial. Bagi sebagian masyarakat, terutama generasi yang tumbuh pada 1970–1980an, narasi ini menghadirkan rasa nostalgia terhadap masa yang dianggap lebih tertata.
Namun, sejarah tidak bekerja secara linier. Rezim yang berhasil membangun infrastruktur dan menaikkan angka pertumbuhan tidak otomatis bersih dari kritik. Kajian Orde Baru menunjukkan bahwa pembangunan dilakukan bersamaan dengan pembatasan ruang demokrasi, represi, kekerasan politik, sentralisasi kekuasaan, dan korupsi yang masif.
Penobatan Soeharto sebagai pahlawan mengambil satu sisi sejarah sebagai kebenaran, dan menggeser sisi lainnya sebagai catatan pinggir. Dalam kerangka kajian memori, tindakan ini disebut strategi simplifikasi sejarah dimana sebuah teknik negara memilih versi masa lalu yang paling sesuai dengan kepentingan politik masa kini.
Luka yang Tidak Mendapat Ruang
Salah satu dampak paling serius dari penobatan ini adalah semakin menyempitnya ruang bagi para penyintas. Selama puluhan tahun, keluarga korban penghilangan paksa, penyintas Tragedi 1965–66, warga Timor Timur, aktivis prodemokrasi, dan kelompok-kelompok lain telah berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara atas pengalaman mereka.
Dengan Soeharto kini memegang gelar pahlawan, negara secara simbolik menempatkan pengalaman korban sebagai bagian yang tidak prioritas dalam narasi sejarah. Luka itu tidak hilang, tetapi dilegitimasi untuk tetap berada di pinggiran.
Dalam kajian transitional justice, ketidakmampuan negara mengakui penderitaan korban merupakan bentuk kekerasan simbolik baru yang halus, tidak kasat mata, tetapi mempengaruhi bagaimana masyarakat memahami masa lalu.
Penobatan dan Politik Nostalgia
Penetapan Soeharto tidak dapat dilepaskan dari konteks politik kontemporer. Selama beberapa tahun terakhir, nostalgia Orde Baru mengalami kebangkitan. Sebagian masyarakat menafsirkan reformasi sebagai era kebebasan yang tidak terkelola, ketika demokrasi identik dengan kegaduhan dan ketidakstabilan. Dalam situasi politik yang terpolarisasi, figur Soeharto sering diposisikan sebagai antitesis terhadap ketidakpastian tersebut.
Penerimaan publik terhadap nostalgia ini menunjukkan adanya kerinduan terhadap figur kuat yang dianggap mampu menjaga ketertiban. Penobatan Soeharto memperkuat narasi tersebut, memberikan legitimasi simbolik bagi ide tentang pemimpin yang kuat, tegas, dan terpusat.
Dalam perspektif politik, penobatan ini bukan hanya penghargaan individual, tetapi juga praktik ideologis: membentuk imajinasi publik tentang model kepemimpinan yang perlu dihidupkan kembali.
Distorsi Sejarah sebagai Kebijakan Publik
Salah satu risiko terbesar dari penobatan ini adalah mempengaruhi cara generasi muda membaca sejarah. Narasi resmi negara selalu memiliki daya pengaruh paling kuat. Ketika Soeharto ditempatkan secara formal sebagai pahlawan, maka bagian-bagian sejarah yang gelap; kekerasan negara, pembungkaman kritik, penghilangan paksa, dan korupsi yang rentan direduksi menjadi “kontroversi politik”.
Seiring waktu, distorsi sejarah dapat menjadi kebijakan publik yang tidak tertulis: sebuah kebiasaan untuk menampilkan sejarah dalam versi yang aman, rapi, dan sesuai dengan identitas nasional yang ingin dibangun negara. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghasilkan generasi yang tidak lagi mengenali bahaya kekuasaan absolut.
Situasi ini pernah digambarkan oleh ilmuwan politik Juan Linz: “otoritarianisme bertahan bukan hanya melalui kekuatan, tetapi melalui pengelolaan memori kolektif.”
Penobatan Soeharto berada dalam kerangka tersebut.
Mengapa Penobatan Ini Tidak Sederhana
Masalah utama dari penobatan Soeharto bukan karena ia tidak memiliki kontribusi. Ia memiliki. Namun kepahlawanan bukan sekadar daftar prestasi, melainkan integritas moral. Ketika seseorang dengan rekam jejak pelanggaran HAM mendapatkan gelar pahlawan, negara mengirimkan pesan bahwa dimensi moral dapat dinegosiasikan.
Penobatan ini juga mengaburkan batas antara pemimpin dan penguasa. Ia menempatkan pencapaian pembangunan sejajar dengan pelanggaran terhadap kebebasan dasar, padahal keduanya tidak berdiri pada landasan etis yang sama.
Dalam kajian politik memori, hal seperti ini disebut reframing simbolik dimana penggantian kerangka moral untuk menilai seorang tokoh.
Apa yang Dipertaruhkan?
Penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah momen penting dalam sejarah ingatan bangsa. Ia mengubah cara negara menilai masa lalu, dan pada akhirnya mempengaruhi cara masyarakat memahami demokrasi, kekuasaan, dan keadilan.
Yang dipertaruhkan bukan hanya makna kepahlawanan. Yang dipertaruhkan adalah kejujuran kolektif kita terhadap sejarah: apakah kita berani menghadapi masa lalu dengan segala kompleksitasnya, atau lebih memilih versi yang telah disederhanakan demi kenyamanan politik.
Dalam situasi ini, pertanyaan yang harus diajukan bukan lagi apakah Soeharto layak atau tidak. Pertanyaannya kini adalah:
Apa konsekuensi moral, politik, dan historis dari keputusan negara untuk menempatkan figur dengan rekam jejak seperti Soeharto di posisi simbolik tertinggi?
Jawaban atas pertanyaan itu akan membentuk arah pemahaman kita tentang sejarah dan masa depan demokrasi Indonesia untuk waktu yang sangat lama.[]