Info Massa – Ketidakhadiran Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Kabupaten Tangerang memantik kemarahan dan kekecewaan publik.
Koalisi Aktivis dan Warga Terdampak TPA Jatiwaringin menilai sikap mangkir tersebut sebagai bentuk nyata pembangkangan birokrasi terhadap mekanisme pengawasan DPRD sekaligus pengabaian terhadap penderitaan warga.
RDP yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 22 Desember 2025 pukul 10.00–13.00 WIB sejatinya menjadi ruang resmi untuk membuka tabir persoalan pengelolaan TPA Jatiwaringin, termasuk rencana ambisius program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).
Namun hingga agenda berakhir, tak satu pun pejabat DLHK hadir atau memberikan penjelasan resmi. Akibatnya, rapat terpaksa ditunda tanpa kepastian waktu.
Dinilai Bentuk Pelecehan terhadap DPRD dan Warga
Koalisi menilai ketidakhadiran DLHK bukan sekadar persoalan teknis, melainkan bentuk pelecehan terhadap fungsi pengawasan DPRD dan suara masyarakat terdampak.
Padahal, warga dan mahasiswa datang dari berbagai wilayah dengan biaya patungan, meninggalkan pekerjaan dan aktivitas harian demi memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang sehat.
“Ini bukan forum informal, ini RDP resmi DPRD. Ketika DLHK tidak hadir, itu menunjukkan sikap arogan dan anti-dialog. Seolah-olah penderitaan warga sekitar TPA tidak penting,” tegas Koordinator Koalisi Aktivis dan Warga Terdampak TPA Jatiwaringin, Aditya Nugeraha, Senin (22/12).
Catatan Kritis yang Tak Pernah Dijawab
Dalam forum tersebut, warga dan mahasiswa menyampaikan serangkaian catatan kritis yang hingga kini tak pernah dijawab secara terbuka oleh DLHK, antara lain:
1. Minim transparansi PSEL Tidak ada penjelasan terbuka mengenai teknologi yang digunakan, volume sampah yang akan diolah, jam operasional, potensi emisi, residu berbahaya, serta risiko kesehatan jangka pendek dan panjang bagi warga sekitar.
2. Model aglomerasi Tangerang Raya yang timpang Pola pengelolaan sampah lintas wilayah dinilai hanya memindahkan beban lingkungan ke Kabupaten Tangerang, khususnya warga sekitar TPA Jatiwaringin, tanpa skema kompensasi dan manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
3. Pengabaian hak dasar warga terdampak Warga masih kesulitan mengakses air bersih layak konsumsi, menghirup udara sehat, dan memperoleh peningkatan kesejahteraan ekonomi, meski puluhan tahun hidup berdampingan dengan gunungan sampah dan dampak pencemaran.
Desakan Evaluasi Total dan Pencopotan Pejabat
Atas dasar kegagalan dialog dan akuntabilitas tersebut, koalisi mahasiswa dan warga mendesak Moch. Maesyal Rasyid untuk segera mencopot Kepala DLHK Kabupaten Tangerang serta Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3.
Desakan ini dinilai sebagai langkah minimal untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegakkan tanggung jawab moral pejabat daerah.
“Jika pejabat tidak berani hadir di hadapan DPRD dan masyarakat terdampak, maka mereka juga tidak layak mengelola kebijakan lingkungan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” lanjut Aditya.
DPRD Diminta Bersikap Tegas
Koalisi juga mendesak DPRD Kabupaten Tangerang agar tidak sekadar menjadwalkan ulang RDP, melainkan mengambil langkah tegas, termasuk pemanggilan paksa, rekomendasi sanksi administratif, hingga evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pengelolaan sampah dan proyek PSEL.
Menurut warga, persoalan TPA Jatiwaringin bukan lagi isu teknis, melainkan soal keadilan lingkungan.
Selama DLHK terus menutup diri dan menghindari ruang dialog, konflik sosial dan ketidakpercayaan publik dipastikan akan semakin membesar.
“Lingkungan yang rusak, kesehatan yang terancam, dan pejabat yang menghilang dari forum resmi, ini potret buram tata kelola sampah di Kabupaten Tangerang hari ini,” tutup pernyataan koalisi.[]