Profil
Beranda / Profil / Abuya Dimyati: Ulama Karismatik Banten Dalam Bayangan Stigma Merah di Era Orde Baru

Abuya Dimyati: Ulama Karismatik Banten Dalam Bayangan Stigma Merah di Era Orde Baru

Info Massa – Di tengah pedalaman Cidahu, Pandeglang, berdiri sosok ulama yang namanya melampaui batas daerah: Abuya Dimyati bin Abdul Karim, pendiri Pesantren Raudlatul Ulum yang dikenal luas sebagai gudang ilmu alat, tasawuf, dan sanad keulamaan Banten. Sifatnya yang tawadhu, ilmunya yang mendalam, dan pengaruh spiritualnya menjadikannya salah satu ulama paling dihormati pada abad ke-20 di Banten.

Namun riwayat hidupnya sempat terusik pada tahun 1977, ketika penguasa Orde Baru mencengkeram ketat arena politik nasional. Di masa ketika suara ulama bisa dipersempit menjadi “loyal atau musuh negara”, Abuya justru tampil memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai posisi politik yang berimbang dan bebas dari tekanan.

Abuya Dimyati lahir pada 1925 dan tumbuh dalam tradisi pesantren Banten yang kuat. Ia menuntut ilmu kepada para ulama besar, termasuk guru-guru di Tanara dan di Jawa Barat. Santri mengenang bahwa Abuya memiliki hafalan kitab yang luas dan kemampuan membaca teks-teks klasik dengan ketajaman yang mengagumkan. Ia mengajar dengan rendah hati dan lebih banyak diam ketimbang berbicara, namun setiap kalimatnya dianggap petuah.

Di masanya, Pesantren Cidahu bukan hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga pusat spiritual masyarakat. Banyak tokoh, ulama, bahkan pejabat datang meminta doa dan pandangan moral kepada Abuya.

Pada masa Orde Baru, ketika Golkar mendapat dukungan penuh dari aparat negara, banyak ulama ditekan agar mengikuti garis politik pemerintah. Namun Abuya dikenal menjaga jarak dari politik praktis. Ia tidak berafiliasi dengan partai mana pun dan memilih memberikan panduan moral kepada masyarakat.

Bus Malam Kamboja Jatuh Ke Sungai, 16 penumpang Tewas

Penelitian Universitas Indonesia menyebutkan Abuya sebagai “kiai dan culture broker yang menjelaskan situasi politik kepada masyarakat tanpa berpihak pada partai manapun.”

Hal ini kemudian menjadi dasar dari peristiwa yang mengubah hidupnya pada 1977.

Menjelang Pemilu 1977, Golkar menjalankan pendekatan yang oleh banyak ulama daerah dianggap intimdidatif. Dalam pengajian di Masjid Cidahu pada 11 Maret 1977, Abuya Dimyati menyampaikan penjelasan yang sangat normatif:

“Golkar itu bukan pemerintah. Pemerintah adalah Republik Indonesia. Masyarakat tidak boleh dipaksa memilih.”
— dicatat dalam laporan Historia

Bagi santri, itu penjelasan fikih politik klasik. Namun bagi aparat Orde Baru, ucapan itu dianggap ancaman. Kepala Polsek Cadasari segera melaporkan ucapan Abuya ke atasan. Dalam kultur politik saat itu, “bicara di luar jalur Golkar” kerap diterjemahkan sebagai melawan rezim.

Sosok Ira Puspitadewi; Jejak Panjang Eksekutif Perempuaan, Transformasi ASDP, dan Pusaran Korupsi yang Mengakhiri Karirnya

Pada 14 Maret 1977, Abuya ditangkap secara tiba-tiba dan dibawa ke Pandeglang. Proses persidangan berlangsung cepat (sidang kilat) dengan minim saksi dan pembelaan. Ia divonis enam bulan penjara atas tuduhan “merongrong kewibawaan pemerintah”.

Namun yang paling menyakitkan adalah stigma yang disematkan aparat. Ketika keluarga menanyakan kabar Abuya, seorang pejabat penjara berkata:

“Kyaimu pemberontak. Orang merah… PKI.”
— ditulis dalam Manaqib Abuya Cidahu, dikutip Historia

Stigma “PKI” pada era Orde Baru sering digunakan tanpa dasar untuk membungkam kritik. Dalam kasus Abuya, label itu jelas tidak pernah terbukti, tetapi digunakan untuk menciptakan ketakutan di masyarakat.

Dalam berbagai kisah santri dan dokumentasi lisan, Abuya menjalani hukuman dengan ketenangan yang luar biasa. Ia menghabiskan hari dengan zikir, mengajar sesama tahanan, dan menenangkan keluarga melalui pesan yang selalu damai. Sejumlah penjaga penjara disebut mulai menghormatinya setelah melihat akhlaknya; sebuah tanda bagaimana stigma “PKI” itu runtuh oleh keteladanan personal.

Purbaya Tegaskan Thrifting Barang Ilegal, Tidak boleh Dipasarkan

Setelah menjalani enam bulan hukuman, Abuya kembali ke Cidahu. Masyarakat menyambutnya dengan air mata dan hormat. Tuduhan “PKI” tidak pernah dipercaya masyarakat; sebaliknya, peristiwa itu makin menegaskan posisi Abuya sebagai ulama yang berani bersuara jujur.

Sejumlah peneliti menilai peristiwa ini sebagai contoh bagaimana ulama tradisional Banten menjaga kemandirian moralnya di hadapan negara. Abuya Dimyati menjadi simbol keteguhan, bukan perlawanan politik; ia melawan dengan akhlak, bukan dengan retorika.

Diketahui Abuya Dimyati wafat pada 2003, tetapi pengaruhnya terus hidup dalam tradisi pesantren Banten dan jejaring ulama Nusantara. Ia dikenang bukan hanya sebagai guru ilmu alat, tetapi sebagai ulama yang menghadapi tekanan rezim dengan kesabaran dan martabat.

Warisan besarnya bukanlah kontroversi 1977, tetapi keteladanannya: bahwa ulama sejati tidak mencari kuasa, tidak tunduk pada tekanan, dan tetap berbicara benar meski dalam bayang-bayang rezim.[]

× Advertisement
× Advertisement