Info Massa – Setiap hari pukul tujuh pagi, Andri (27) sudah siap dengan jaket dan helm hijau tuanya. Di bawah terik dan hujan, ia mengendarai motor menyusuri jalanan Tangerang dan Jakarta untuk mengantarkan penumpang dan paket.
Tak banyak yang tahu, di balik pekerjaannya sebagai pengemudi ojek online, Andri adalah lulusan S1 Manajemen dari salah satu universitas swasta di Tangerang Banten.
“Ada sekitar 80an lamaran pekerjaan yang saya kirim setelah lulus. Hanya tiga yang memanggil wawancara. Dua menolak, satu menawarkan gaji yang bahkan tidak cukup untuk kebutuhan umumnya hidup di Tangerang,” ujarnya saat ditemui di salah satu kedai kopi di Tangerang, Senin (24/11).
Pilihan realistis pun ia ambil: mendaftar sebagai pengemudi ojek online. Dalam sehari, ia bisa membawa pulang pendapatan bersih Rp100 ribu hingga Rp150 ribu, jumlah yang menurutnya lebih pasti dibanding menunggu panggilan kerja formal yang tak kunjung datang.
Fenomena Andri Bukan Kasus Tunggal
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan bahwa jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 86,58 juta orang, atau 59,40 persen dari total tenaga kerja nasional. Proporsi ini meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dan termasuk lulusan diploma serta sarjana yang tidak terserap sektor formal.
“Sekarang teman-teman kuliah saya juga banyak yang jadi ojol atau kurir. Ada yang dulu ranking kelas, IPK terbilang tinggi, tapi tetap belum dapat kerja kantoran,” kata Andri.
Antara Kompetensi dan Realitas Pasar Kerja
Andri mengaku sempat mengikuti beberapa pelatihan, namun sebagian besar lowongan kerja menuntut pengalaman dan kemampuan teknis yang tidak dia dapatkan saat kuliah.
“Perusahaan minta pengalaman dua tahun, minta sertifikat digital, minta kemampuan analisis. Sementara kampus dulu lebih banyak teori,” keluhnya.
Kondisi ini sebagai akibat dari ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri. Selain itu, sektor formal tumbuh lebih lambat dibandingkan jumlah lulusan baru setiap tahun.
Risiko Bagi Generasi Lulusan Baru
Meski tampak stabil, pekerjaan berbasis platform seperti ojek online memiliki risiko, mulai dari pendapatan yang fluktuatif hingga minimnya jaminan sosial.
“Kalau tidak narik, tidak dapat uang. Kalau sakit, ya tidak ada pemasukan. Tapi apa boleh buat, saya harus bantu orang tua dan bayar kebutuhan sendiri,” ujar Andri.
Fenomena seperti Andri dipandang sebagai bentuk “wasted talent,” di mana potensi tenaga terdidik tidak terserap pada pekerjaan yang mengoptimalkan kemampuan mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menekan produktivitas nasional dan menggerus harapan generasi muda terhadap pendidikan tinggi.
Harapan yang Masih Tumbuh
Meski demikian, Andri belum menyerah. Di sela-sela menarik ojek, ia tetap melamar pekerjaan formal dan mengambil kursus digital marketing secara mandiri.
“Gelar itu tetap penting. Saya masih percaya ada rezeki yang sesuai. Tapi untuk sekarang, jalanan dulu yang menghidupi,” ujarnya sembari kembali menyalakan aplikasi di ponselnya.[]