Info Massa — Polemik kepengurusan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Tangerang kian panas. Aktivis Mahasiswa menilai, keputusan DPD KNPI Provinsi Banten yang menetapkan Yudhistira Prasasta yang merupakan seorang komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang juga bertindak sebagai Ketua Majelis Pemuda Indonesia (MPI) telah mencederai prinsip etik dan hukum penyelenggara pemilu, Rabu (29/10).
Penetapan itu tertuang dalam Surat Keputusan DPD KNPI Provinsi Banten Nomor: Kep.043/DPD-KNPI/BTN/II/2025, tentang Susunan Personalia DPD KNPI Kota Tangerang Periode 2025–2028. Surat keputusan tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua DPD KNPI Provinsi Banten Moh. Rano Alfath dan Sekretaris Adang Akbarudin pada 22 Februari 2025.Namun persoalan tidak berhenti di situ.
Berdasarkan dokumen resmi Rundown kegiatan Pelatihan Kewirausahaan DPD KNPI Kota Tangerang, yang diperoleh redaksi, nama Yudhistira Prasasta, S.Gz. tercantum secara eksplisit dalam daftar sambutan sebagai Majelis Pemuda Indonesia Kota Tangerang bersama jajaran pejabat lain seperti Ketua DPD KNPI, Ketua DPD KNPI Banten, dan Wakil Wali Kota Tangerang.
Fakta administratif ini membantah klaim Yudhistira sebelumnya yang menyebut namanya dicatut oleh pengurus KNPI. Sebab, kehadiran namanya dalam dokumen resmi dengan kop surat dan logo DPD KNPI Kota Tangerang menandakan pengakuan struktural dan legitimasi formal.
Aktivis: “Ini Bentuk Pengkhianatan terhadap Etika Publik”
Forum Aksi Mahasiswa (FAM) Tangerang menilai situasi ini bukan sekadar persoalan etik, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap independensi lembaga KPU.
“Ini bukan lagi soal etika personal, tapi soal moral lembaga. Bagaimana mungkin seorang penyelenggara pemilu yang harusnya netral justru menjabat di organisasi kepemudaan? Ini pelecehan terhadap prinsip independensi KPU,” tegas Sekjen FAM Tangerang, Akbar Ridho, Rabu (26/3/2025).
Ia menilai, DPD KNPI Provinsi Banten seharusnya memahami konsekuensi hukum sebelum menetapkan susunan personalia.
“Mereka ini kan lembaga resmi, bukan organisasi hura-hura. Masa tidak tahu bahwa anggota KPU dilarang terlibat dalam ormas? Atau pura-pura tidak tahu karena ada kepentingan tertentu?” ujar Akbar dengan sinis.
Lanjut Akbar menilai, peran Yudhistira dalam kegiatan resmi KNPI merupakan pelanggaran berat terhadap kode etik penyelenggara pemilu, yang bisa mengguncang kepercayaan publik terhadap independensi KPU di tingkat daerah.

acara pelatihan kewirausahaan yang digelar DPD KNPI Kota Tangerang. (Foto: Istimewa)
“Kalau orang yang duduk di KPU saja bisa rangkap jabatan di organisasi, bagaimana kita bisa yakin pemilu dijalankan tanpa konflik kepentingan? Ini preseden buruk,” tambahnya.
“DKPP harus segera turun tangan, dan Bawaslu Kota Tangerang perlu memeriksa secara terbuka. Jangan sampai masyarakat melihat ini sebagai bentuk pembiaran.” jelas Akbar.
Landasan Hukum yang Dilanggar
Ketentuan larangan keterlibatan penyelenggara pemilu dalam organisasi kemasyarakatan termaktub jelas dalam Pasal 21 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa anggota KPU wajib:
“tidak menjadi anggota partai politik, tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, dan tidak menjadi anggota organisasi kemasyarakatan berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.”
Dengan demikian, keberadaan nama Yudhistira Prasasta dalam struktur DPD KNPI Kota Tangerang, baik melalui SK maupun dokumen rundown resmi, dapat diartikan sebagai pelanggaran langsung terhadap norma hukum tersebut.
Selain itu, secara etik, tindakan tersebut juga berpotensi melanggar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, yang menekankan pentingnya integritas, netralitas, dan kemandirian setiap anggota KPU.
Krisis Kepercayaan Publik dan Lemahnya Etika Lembaga
Keterlibatan penyelenggara pemilu dalam kegiatan ormas seperti KNPI menciptakan benturan kepentingan (conflict of interest) yang mengancam integritas kelembagaan. KPU sejatinya adalah benteng terakhir demokrasi elektoral, tempat publik menaruh kepercayaan bahwa proses pemilu berjalan objektif dan bebas intervensi politik.
Namun, kasus Yudhistira menunjukkan adanya gejala penurunan disiplin etik dan lemahnya pengawasan internal KPU. Bila dibiarkan, kasus seperti ini dapat menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya menjadi penjamin netralitas demokrasi di tingkat daerah.
Desakan Tindak Lanjut
Lebih jauh Akbar mendesak DKPP dan Bawaslu Kota Tangerang untuk segera memeriksa dan menindaklanjuti temuan ini.
“Kami akan menyerahkan salinan SK dan rundown resmi sebagai bukti pendukung. Ini bukan fitnah, ini fakta administratif yang tidak bisa disangkal,” tegas pimpinan FAM Tangerang ini.
“Jika penyelenggara pemilu sudah bermain di wilayah ormas, maka integritas demokrasi sedang dalam bahaya,” pungkasnya.[]
Komentar