Opini
Beranda / Opini / Prabowo-Gibran Target Menuju Pertumbuhan 8 Persen, Antara Ambisi Politik dan Realitas Ekonomi

Prabowo-Gibran Target Menuju Pertumbuhan 8 Persen, Antara Ambisi Politik dan Realitas Ekonomi

Satu tahun Prabowo-Gibran Targetkan Pertumbuhan 8 persen. (Foto: Info Massa/Red).

Info Massa – Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka telah berlalu, dan ambisi besar mulai ditancapkan: pertumbuhan ekonomi Indonesia menembus 8 persen.

Sebuah target yang bukan hanya ambisius, tetapi juga sarat makna politik menjadi simbol keberhasilan sekaligus ujian bagi legitimasi ekonomi pemerintahan baru ini.

Dalam forum “Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Optimism on 8 Percent Economic Growth”, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan strategi besar untuk mewujudkan pertumbuhan tersebut: investasi infrastruktur, hilirisasi berkelanjutan, digitalisasi UMKM, serta disiplin fiskal. Semua terdengar ideal, bahkan futuristik.

Namun, persoalan mendasarnya bukan pada arah, melainkan pada kemampuan eksekusi dan struktur ekonomi nasional yang timpang.

Selama dua dekade terakhir, Indonesia belum pernah menyentuh pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen secara berkelanjutan. Struktur ekonomi yang masih bergantung pada konsumsi domestik (lebih dari 55 persen PDB), rendahnya produktivitas sektor industri, dan lemahnya inovasi teknologi menjadi beban kronis.

Malaysia Teken Kesepakatan Tarif Impor AS 19 Persen

Jika strategi Prabowo-Gibran masih menempatkan pembangunan infrastruktur fisik dan hilirisasi berbasis komoditas sebagai mesin utama, maka kita sesungguhnya tengah menyusuri jalur lama dengan kostum baru. Infrastruktur memang penting, tetapi tanpa transformasi struktural dalam riset, pendidikan vokasi, dan industrialisasi padat teknologi, pertumbuhan tinggi hanya akan bersifat sementara dan eksklusif.

Kebijakan hilirisasi menjadi mantra ekonomi era Jokowi yang kini diwariskan kepada Prabowo. Namun, jika dilihat lebih dalam, sebagian besar hilirisasi masih bersifat ekstraktif dan terkonsentrasi pada komoditas nikel. Ketiadaan diversifikasi industri dan rendahnya transfer teknologi dari investor asing berpotensi mengulang skenario dependency ekonomi: kaya sumber daya, tapi miskin inovasi.

Untuk mencapai pertumbuhan 8 persen, hilirisasi seharusnya bergeser dari sekadar “mengolah bahan mentah” menjadi “menguasai rantai nilai global”. Tanpa itu, nilai tambah hanya akan dinikmati oleh segelintir oligarki industri yang terintegrasi dengan kekuasaan.

Airlangga menegaskan bahwa defisit fiskal masih di bawah 3 persen dan utang terkendali. Pernyataan ini penting, tetapi berpotensi kontradiktif dengan kebijakan populis yang menjadi ciri khas Prabowo-Gibran terutama program makan bergizi gratis, subsidi energi, dan proyek infrastruktur masif.

Pertanyaannya sederhana: apakah disiplin fiskal mampu bertahan di tengah ekspansi belanja yang terus meningkat? Jika tidak, maka ambisi 8 persen justru bisa menyeret ekonomi pada defisit berkepanjangan dan tekanan inflasi.

SARJANA TERTINDAS: KETIKA KAMPUS MELAHIRKAN BURUH, BUKAN PEMBEBAS!

Digitalisasi UMKM disebut sebagai motor baru pertumbuhan. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas UMKM belum memiliki akses terhadap teknologi dasar, modal, maupun literasi digital.

Tanpa keberpihakan nyata terhadap pendidikan dan pendampingan usaha, jargon digitalisasi hanya akan menjadi slogan manis dalam slide presentasi kementerian.

Di tengah optimisme pertumbuhan, ada pertanyaan yang lebih fundamental: siapa yang benar-benar diuntungkan? Pemerintah memang berkomitmen pada pembangunan infrastruktur dan investasi, tetapi jika tidak disertai reformasi agraria, perlindungan tenaga kerja, dan redistribusi kekayaan, maka pertumbuhan tinggi hanya akan memperdalam ketimpangan sosial dan memperluas jurang kelas.

Dalam konteks Marxian, ini adalah kontradiksi klasik kapitalisme: akumulasi modal yang melahirkan kesenjangan. Semakin tinggi pertumbuhan tanpa pemerataan, semakin besar pula potensi ketegangan sosial di bawahnya.

Pemerintahan Prabowo-Gibran sedang menulis bab baru ekonomi Indonesia. Target pertumbuhan 8 persen bukanlah mustahil, tetapi membutuhkan fondasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar proyek fisik dan kebijakan simbolik.

Potensi Mineral Langka di Lumpur Lapindo, Indonesia Dilirik Investor Dunia

Optimisme boleh dijaga, namun kewaspadaan harus lebih tinggi. Ekonomi tidak tumbuh karena janji, melainkan karena struktur yang sehat, tenaga kerja yang produktif, dan keadilan distribusi yang nyata. Jika tidak, pertumbuhan 8 persen hanya akan menjadi mitos politik di tengah stagnasi ekonomi yang terselubung.[]

Komentar

Tinggalkan Balasan

× Advertisement
× Advertisement