Opini
Beranda / Opini / Rakyat sebagai Subyek Etis: Menafsir Ulang Pesan Munir dalam Kerangka Filsafat Politik

Rakyat sebagai Subyek Etis: Menafsir Ulang Pesan Munir dalam Kerangka Filsafat Politik

“Biarkanlah rakyat yang menentukan arah bangsa ini, dan bagaimana rakyat akan menjaga masa depannya, sebab rakyat pemilik sah konstitusi.” — Munir Said Thalib, 1965–2004

Info Massa – Dalam satu kalimat pendek, Munir merangkum inti dari pergulatan panjang filsafat politik: siapa sebenarnya pemilik negara? Pertanyaan sederhana yang dalam sejarah politik mana pun selalu melahirkan perlawanan, pengkhianatan, dan kesadaran baru.

Munir tidak sedang mengulang jargon demokrasi. Ia sedang mengingatkan bahwa kedaulatan rakyat bukan sekadar konsep legal, melainkan prinsip etis, bahkan keharusan moral yang menuntut negara tunduk pada pemilik sesungguhnya: warga negara.

Dalam tradisi filsafat politik, mulai dari Rousseau hingga Hannah Arendt, rakyat ditempatkan sebagai “subyek politik.” Bagi mereka, negara tidak lebih dari kontrak moral antar-warga untuk menjamin kebebasan.

Munir berada pada garis yang sama:

Diduga Biaya Sewa Kantor KCD Pendidikan Tangerang Dimark-Up Hingga Rp300 Juta, PIM Minta Penjelasan Resmi

Bahwa kekuasaan, tanpa legitimasi rakyat, hanyalah bentuk modern dari feodalisme.

Ketika ia berkata “rakyat pemilik sah konstitusi”, itu bukan metafora. Itu adalah pernyataan ontologis bahwa konstitusi lahir dari rakyat, untuk rakyat, dan harus kembali dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Konteks filosofis dari seruan Munir juga terletak pada gagasan agency dimana kemampuan rakyat menentukan hidupnya sendiri. Dalam etika eksistensialisme Sartre, kebebasan bukan hadiah, melainkan tanggung jawab yang harus dipikul.

“Menentukan arah bangsa” bukan hanya urusan bilik suara lima tahun sekali;

itu adalah tugas kewargaan yang menuntut kewaspadaan, partisipasi, dan keberanian untuk bersuara.

Bus Malam Kamboja Jatuh Ke Sungai, 16 penumpang Tewas

Dalam arti ini, kutipan Munir adalah kritik terhadap pasivitas sekaligus seruan untuk menolak nudging kekuasaan yang ingin mendikte arah negara.

Di tangan Munir, konstitusi tidak dibicarakan sebagai teks hukum, melainkan sebagai janji moral bersama. Ia sejalan dengan gagasan Habermas, yang melihat hukum sebagai produk diskursus rasional warga, bukan alat kontrol.

Ketika rakyat disingkirkan dari proses politik; melalui korupsi, kekerasan negara, atau intimidasi yang rusak bukan hanya sistem hukum, tapi etos konstitusional itu sendiri.

Munir ingin mengembalikan konstitusi ke tempat asalnya: bukan sebagai milik elit, aparat, atau oligarki, tetapi sebagai perwujudan kehendak rakyat.

Seanjutnya Munir tidak menulis teori; ia menulis dengan kehidupannya. Seruannya tentang kedaulatan rakyat datang dari pengalaman panjang menyaksikan bagaimana negara bisa menjadi musuh warganya sendiri: menangkap, menyiksa, menghilangkan, bahkan membunuh.

Sosok Ira Puspitadewi; Jejak Panjang Eksekutif Perempuaan, Transformasi ASDP, dan Pusaran Korupsi yang Mengakhiri Karirnya

Filosofisnya jelas: jika negara berpotensi menjadi pemangsa, maka rakyat harus menjadi pengawas.

Kedaulatan rakyat, bagi Munir, bukan romantisme ideal, melainkan mekanisme etis untuk mencegah kekuasaan berubah menjadi mesin represif.

“Bagaimana rakyat akan menjaga masa depannya” adalah bagian yang sering dilewatkan, padahal di situlah letak kedalaman filosofisnya. Munir menawarkan gagasan bahwa masa depan bangsa tidak diciptakan negara; itu dijaga oleh rakyat.

Ia sejalan dengan tradisi republikan klasik bahwa Republik yang sehat membutuhkan warga yang tidak takut, tidak bungkam, tidak menyerah.

Dengan demikian, kutipan ini bukan sekadar pernyataan politis, tetapi etos kewargaan: bangsa hanya akan berjalan lurus apabila rakyatnya berani memandu, bukan dipandu.

Dalam kacamata filsafat politik, kutipan Munir bukan slogan, tetapi imperatif kategoris ala Kant: sebuah perintah moral tanpa syarat.

Jika rakyat adalah pemilik konstitusi, maka rakyat pula yang harus menjaga negara dari korupsi, moral harus mengoreksi penyimpangan kekuasaan, serta harus memastikan masa depan bangsa tidak direbut segelintir orang.

Pada akhirnya, Munir mewariskan pemahaman bahwa demokrasi bukanlah institusi yang dijaga negara, melainkan ruang kebebasan yang dijaga rakyat. Dan selama rakyat masih mau menentukan arah bangsa ini, pesan Munir tidak akan pernah mati.[]

× Advertisement
× Advertisement