Info Massa – Tangerang sering dijuluki “Kota Jasa”. Kota yang hidup dari pelayanan, perdagangan, dan kedekatannya dengan Bandara Soekarno-Hatta, gerbang global Indonesia. Namun di balik gemerlap bandara, kota ini menyimpan ironi sosial yang menohok: kemewahan di satu sisi, kemiskinan yang bertahan di sisi lain.
Batuceper, Benda, dan Neglasari. Tiga kecamatan yang hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara menjadi simbol paling telanjang dari paradoks ini.
Bayang-Bayang Bandara, Realitas yang Tak Merata
Lampu bandara menyala sepanjang malam, menandakan aktivitas ekonomi global tanpa henti. Tetapi beberapa ratus meter dari tembok bandara, ada gang-gang sempit, rumah berdinding seng, air got mengalir tanpa saluran, dan sampah-sampah yang berserakan.
Menurut data Analisis Statistik Sektoral Kota Tangerang (2023), luas kawasan kumuh masih mencapai 77,98 hektar. Batuceper memiliki kawasan kumuh sebesar 11,58%, Neglasari 16,08%, dan Benda 5,92% dari total area yang dipetakan.
Fakta itu menampar klaim “kota modern berbasis pelayanan.” Sebab, kota jasa sejati tidak mungkin membiarkan warganya hidup di permukiman yang tak layak di bawah bayang terminal internasional.
Seperti diingatkan Henri Lefebvre, filsuf urban asal Prancis, dalam The Right to the City (1968):
“Kota modern bukan hanya tempat untuk bekerja dan berproduksi, tapi ruang bagi manusia untuk hidup bermartabat. Ketika ruang itu hanya diatur untuk modal, maka hak atas kota dicabut dari rakyatnya.”
Dan Tangerang hari ini adalah contoh paling nyata dari kehilangan hak atas kota.
Ketimpangan yang Dibangun, Bukan Terjadi Kebetulan
Ketimpangan di Tangerang bukanlah kebetulan. Ia adalah hasil dari arah pembangunan yang bias modal dan abai sosial.
Dalam dua dekade terakhir, kota ini tumbuh cepat karena efek limpahan urbanisasi Jakarta. Tetapi pertumbuhan itu tanpa manajemen sosial. Tata ruang diarahkan untuk kawasan industri, pergudangan, dan properti komersial bukan untuk memperluas ruang hidup rakyat.
Padahal menurut David Harvey, geografer dan pemikir ekonomi politik, “Kota tidak hanya mencerminkan kapitalisme, tapi juga memproduksinya. Urbanisasi adalah cara baru untuk mengakumulasi ketimpangan.”
Kawasan Benda dan Batuceper adalah bukti konkret dari tesis Harvey itu. Mereka menanggung beban eksternalitas proyek kota jasa; kemacetan, polusi, dan keterpinggiran — tetapi tidak menikmati hasil ekonominya.
Statistik yang Membungkam Kesakitan
BPS Kota Tangerang mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka turun dari 9,07% (2021) menjadi 5,92% (2024). Secara makro, angka ini tampak positif. Tapi statistik tidak pernah bercerita tentang manusia di baliknya.
Sebagian besar warga di Batuceper dan Neglasari bekerja di sektor informal seperti buruh lepas, ojek daring, tenaga kebersihan bandara, atau pedagang asongan dimana semua itu pekerjaan tanpa perlindungan sosial dan upah di bawah standar.
Filsuf India peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen, menulis dalam Development as Freedom (1999):
“Kemiskinan bukan hanya soal kekurangan pendapatan, tapi keterbatasan kebebasan untuk hidup bermartabat.”
Tangerang, dengan segala kemewahan proyeknya, gagal memperluas kebebasan warganya. Ia mengurangi kemiskinan di atas kertas, tapi tidak membebaskan manusia dari ketidakpastian ekonomi.
Kota yang Sibuk Mencitrakan Diri
Dalam berbagai publikasi resmi, Tangerang menonjolkan identitasnya sebagai smart city dan kota religius yang tertib. Namun di lapangan, banyak program yang berhenti di level simbolik: taman digital, trotoar cantik, dan kegiatan festival. Sementara itu, masalah mendasar seperti banjir, kumuh, pengangguran, sanitasi — tak tersentuh serius.
Menurut Michel Foucault, kekuasaan modern bekerja bukan dengan paksaan, tapi dengan disiplin melalui citra.
“Kekuasaan yang paling efektif adalah yang membuat masyarakat menganggap penindasan sebagai kemajuan.”
Citra “kota jasa modern” bisa menjadi instrumen penjinakan publik — menutupi kenyataan bahwa sebagian warga hidup di bawah standar kesejahteraan dasar.
Kota Tanpa Jiwa Sosial
Kota jasa sejati adalah kota yang hidup dari interaksi manusia, dari rasa saling percaya, pelayanan, dan solidaritas sosial. Tapi Tangerang tampak seperti mesin ekonomi tanpa jiwa.
Bandara tumbuh, hotel berdiri, bangunan gedung berkilau, tapi ruang sosial menyusut. Warga makin sulit menemukan ruang terbuka untuk berinteraksi tanpa konsumsi.
Richard Sennett dalam The Fall of Public Man (1977) menulis:
“Ketika ruang publik digantikan oleh pusat perbelanjaan, maka warga kehilangan kemampuan untuk hidup bersama.”
Tangerang sedang menuju arah itu. Kota menjadi tempat kerja, bukan tempat hidup. Warga kehilangan “rasa kota” — kehilangan kepemilikan atas ruang, atas kebersamaan.
Keadilan Ruang dan Hak Atas Kota
Keadilan sosial dalam konteks perkotaan berarti memastikan setiap orang punya akses terhadap ruang, layanan, dan kesempatan. Itulah makna terdalam dari right to the city — hak yang kini terampas di banyak sudut Tangerang.
Hannah Arendt pernah menulis: “Ruang publik adalah tempat di mana manusia muncul sebagai warga, bukan sebagai angka.”
Namun di Tangerang, warga yang tinggal di kawasan kumuh tak lagi tampak sebagai warga, melainkan beban statistik. Mereka hidup di kota, tapi tidak diakui oleh kota.
Bandara yang Tak Pernah Membuka Sayapnya untuk Warga
Bandara Soekarno-Hatta adalah simbol globalisasi, tapi bagi warga di sekitarnya ia justru menjadi simbol ketimpangan. Bandara membawa ribuan tenaga kerja dari luar Tangerang, sementara warga lokal tetap menjadi buruh informal di pagar bandara sendiri.
Tak ada mekanisme kebijakan yang menghubungkan ekonomi bandara dengan ekonomi warga. Dalam konteks ini, bandara bukan lagi gateway of opportunity, melainkan border of exclusion.
Menuntut Revolusi Kota
Kota jasa seperti Tangerang hanya bisa disebut berhasil bila ia melayani semua, bukan segelintir.
Maka arah pembangunan harus dirombak:
1. Bangun ekonomi jasa berbasis warga, bukan investor. Integrasikan UMKM, jasa lokal, dan pelatihan vokasi ke dalam ekosistem bandara.
2. Buka ruang kota yang inklusif, bukan hanya indah bagi investor. Kawasan kumuh harus dipandang sebagai bagian dari kota, bukan noda yang harus disembunyikan.
3. Kembalikan moralitas pelayanan publik. Kota jasa harus mengabdi, bukan menghisap.
Atau, seperti kata David Harvey, “Reclaiming the city is reclaiming our future.”
Jika Tangerang gagal merebut kembali keadilan ruang dan ekonomi warganya, ia hanya akan menjadi kota transit tempat dimana orang datang dan pergi, tapi tak ada yang benar-benar ingin tinggal.
Penutup
Kota jasa yang baik bukan diukur dari banyaknya gedung tinggi atau turunnya angka pengangguran semu. Ia diukur dari sejauh mana rakyat kecil bisa hidup tanpa ketakutan, tanpa kumuh, tanpa pengangguran permanen.
Tangerang hari ini adalah paradoks: kota yang sibuk melayani dunia, tapi belum sanggup melayani dirinya sendiri.
Atau seperti peringatan Friedrich Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra:
“Kota modern adalah tempat di mana banyak orang berkumpul tanpa alasan untuk saling peduli.”
Dan jika Kota Tangerang tidak segera berubah, ia akan menjadi justru kota yang penuh aktivitas, tapi kehilangan kemanusiaan.[]
Komentar