Namun kondisinya di rezim Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto adalah Pemerintah menjamin seluruh ‘investasi’ ke surat utang pemerintah dengan bunga 6-8 persen, cukup jauh di atas bunga deposito perbankan yang hanya di kisaran 3-4 persen. Bila investasi di SUN, akan dijamin 100 persen berapapun besarnya (!) saat terjadi krisis. Sebaliknya, bila disimpan di perbankan hanya maksimal Rp 2 milyar yang ditanggung. Wajar bila akhirnya dana SUN menyedot likuiditas dana di masyarakat. Dana perbankan lari ke surat utang negara, bukan ke konsumsi masyarakat.
Akibat dari lemahnya kredit, konsumsi masyarakat lambat pulih. Pertumbuhan konsumsi masyarakat tahun 2021 (2,02 persen) belum seperti tahun-tahun sebelumnya (4-5 persen). Wajar pada saat bersamaan Indonesia diturunkan kategorinya berdasarkan PDB perkapita menjadi kategori menengah ke bawah pada tahun 2020, turun karena efek pandemi katanya. Ini adalah signal yang kuat bahwa laju ekonomi kita gagal menanggulangi pandemi.
Namun, pada saat pandemi dan kala pandemi sudah mulai teratasi, bersamaan juga pertumbuhan ekspor dan impor menggila. Artinya ada kebangkitan ekonomi di kalangan pebisnis. Para pengusaha, eksportir dan importir, dan seluruh pengusaha lainnya. Bukan kebangkitan ekonomi kalangan rakyat.
Sebagian besar keuntungan para pengusaha ini memang didorong oleh kenaikan harga komoditi dunia. Minyak bumi, batubara, dan minyak sawit adalah rezeki khas Indonesia yang sontak datang belakangan ini muncul, sehingga akhirnya Penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan PNBP melampaui target. Ini bukan prestasi, tapi keberuntungan karena ada situasi Dunia yang menyebabkan permintaan atas komoditi-komoditi pokok melonjak.
Kenaikan permintaan terutama terjadi pasca pandemic mulai teratasi di banyak Negara. Aktivitas ekonomi mulai bangkit di banyak Negara. Ambil contoh minyak sawit. Akibat pandemi, produksi minyak sawit Dunia anjlok 4,5 juta ton tahun 2019 ke 2020. Namun pada saat permintaan mulai naik, produksi tak mampu mengimbangi.
Produksi minyak sawit Indonesia pada 2021 (46,8 juta ton) pun belum menyamai produksi tahun 2019 (51,8 juta ton). Sementara konsumsi minyak sawit terus meningkat, tahun 2021 sebesar 18,5 juta ton. Dan ekspor tahun 2021 adalah 34,2 juta ton, masih di bawah rekor tertinggi ekspor tahun 2019 sebesar 35,8 juta ton. Jadi pada tahun 2021, neraca minyak sawit Indonesia (produksi dikurangi konsumsi dan ekspor) minus 5,9 juta ton, defisit terbesar dalam lima tahun terakhir.
Tetapi meskipun stok Indonesia defisit tahun lalu, faktanya produk sawit Indoensia tetap yang paling berlimpah seDunia. Istilahnya “management of abundance”, tapi tetap saja manajemen pemerintah tidak serta merta mendatangkan sukses. Alokasi, sebagai ilmu dasar ekonomi tidak berjalan dengan mulus di tim ekonomi Pemerintahan Jokowi ini, terutama terlihat dalam kasus komoditi minyak goreng.
Ini alasan lain bagi Presiden Jokowi untuk mencopot Menko Perekonomian. Sebab Menko Perekonomian adalah pejabat yang memiliki wewenang paling tinggi untuk dapat selesaikan masalah ini. Menko Perekonomian seharunyaa dapat saja menggunakan nwewenangnya untuk menekan para pengusaha sawit, tapi kenapa terlihat tidak terjadi hal semacam itu. Akibatnya yang terjadi adalah Negara terlihat tunduk oleh kartel sawit yang mengatur harga minyak goreng. Negara terserap oligarki.