25 Tahun Reformasi, PENA 98 Gelar Pameran Foto Dan Dialog Interaktif di 20 Provinsi

Nasional

Jakarta, – Persatuan Nasional Aktivis (PENA) 98 menggelar beberapa rangkaian acara dalam memperingati 25 Tahun Reformasi.

Adapun serangkaian acaranya meliputi pameran foto dan dialog interaktif di 20 Provinsi yang berlangsung di kampus-kampus dengan menghadirkan pelaku sejarah mahasiswa 1998.

Dalam pameran foto yang berisikan dokumentasi aksi-aksi demontrasi mahasiswa 1998 dengan dilengkapi memorabilia atribut-atribut aksi dan atribut aparat keamanan seperti tameng, replika selongsong peluru hingga bom molotov.

Acara ini berlangsung di Sekretariat GRAHA PENA 98 di Jalan HOS Cokroaminoto No. 115, Menteng, Jakarta Pusat, mulai Kamis, 11 Mei 2023 – Rabu 17 Mei 2023, pukul 10.00 WIB – 22.00 WIB.

M. Sopiyan, Humas pameran foto dokumentasi aksi-aksi mahasiswa 1998 mengungkapkan bahwa beberapa rangkaian acara dalam 25 Tahun Reformasi ini sebagai bentuk merawat ingatan.

“Besar harapan kami, penuntasan agenda reformasi di mana salah satunya pelanggar HAM penculikan aktivis 98 segera dituntaskan,” katanya kepada Info Massa, Kamis, 11 Mei 2023.

Kami Tidak Lupa Siapa Pelakunya!

M. Sopiyan dalam keterangan tertulis menerangkan Rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun lebih bisa jatuh dari tampuk kekuasaannya ditengarahi oleh aksi-aksi mahasiswa yang masif.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa turun ke jalan untuk memperjuangkan demokratisasi agar Indonesia menjadi lebih baik.

“Aksi-aksi protes mahasiswa yang terorganisir dalam memperjuangkan demokrasi, kerap dijawab Rezim Soeharto dengan kekerasan dan moncong senjata,” bebernya.

Ia pun mengungkapkan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang terluka dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Aksi-aksi ini dilakukan secara serentak dan terorganisir.

“Mulai dari aksi serentak di setiap kampus, dalam hari yang sama, jam yang sama, serta tuntutan yang sama. Tuntutan aksi saat itu mengerucut kedua platform, yakni turunkan harga dan turunkan Soeharto,” terangnya.

Lanjut ia menjelaskan aksi yang berlangsung secara serentak disetiap kampus berujung dengan ricuh.

“Bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan terjadi di depan pintu gerbang kampus. Banyak mahasiswa yang terluka. Akibatnya, aksi-aksi mahasiswa yang tadinya di dalam kampus, mulai berani keluar kampus. Dengan harapan pelibatan massa rakyat di sekitar kampus, sehingga perjuangan demokrasi menjadi perjuangan bersama antara mahasiswa dan rakyat,” ungkapnya.

Dari kondisi itulah, mendorong aksi regional yang terpusat. Untuk Jakarta Selatan, dipusatkan di Universitas Pancasila. Untuk di Jakarta Pusat, aksi mahasiswa dipusatkan di Kampus UI Salemba. Di Jakarta Timur, di kampus IKIP Rawamangun. Di Jakarta Utara, di kampus Universitas 17 Agustus (Untag). Di Bogor, dipusatkan di kampus IPB. Dan di Jakarta Barat, di kampus Tri Sakti.

Ia menjelaskan saat aksi regional di kampus Tri Sakti, terjadilah penembakan terhadap empat mahasiswa, yang kemudian mendorong aksi terpusat di satu titik, yakni di Gedung MPR/DPR RI.

“Satu hari pasca penembakan mahasiswa Trisakti, tepatnya mulai 13 hingga 14 Mei 1998, peristiwa besar yang mengakibatkan 1.217 orang meninggal dunia, 189 perempuan di perkosa, 32 mall, 218 toko, 155 Bank, 165 Ruko, 81 kantor, 4 hotel, 21 rumah dan 2 SPBU hancur dibakar dan di jarah meledak di Jakarta dan hingga kini pengusutan kasusnya tidak kunjung tuntas,” jelasnya.

Dalam rangkaian peristiwa tersebut membuat aksi mahasiswa semakin masif. Ketika Pendudukan Gedung DPR/MPR RI berhasil dilakukan mahasiswa akhirnya Soeharto terpojok dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

Pria yang merupakan pendiri sekaligus ketua pertama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) ini menuturkan sejak lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaannya telah membuka keran demokrasi yang begitu deras.

“Seperti kehidupan politik menjadi multipartai. Di mana partai yang tadinya dibatasi hanya tiga, kini menjadi banyak. Selain itu, kebebasan pers dijamin. Di mana sebelumnya pers, pemberitaannya didikte Soeharto, yang hanya memuat pemberitaan pemerintah Soeharto, kini pers menjadi banyak dan bebas. Bahkan media sosial berkembang pesat, menuju masyarakat yang terbuka. Siapapun, bisa mengakses media dengan mudah, bahkan siapapun bisa mengkritisi kinerja pejabat dan pemerintah ketika tidak melakukan kerja yang sesuai aturan,” ujarnya.

Di lain hal, jatuhnya rezim Soeharto juga menjamin rakyat berorganisasi dan berkumpul. Serikat buruh terbentuk dan berkembang pesat. Serikat tani, nelayan, serta organisasi mahasiswa berkembang bak jamur yang bertumbuhan selepas hujan.

Namun dari tiga fenomena di atas, ia menyebut kehidupan demokrasi telah membaik pasca rezim Soeharto tumbang. Namun perjuangan reformasi yang dilakukan mahasiswa dan rakyat dengan keringat, darah, airmata, serta nyawa, hasilnya belum sempurna.

“Karena kejahatan politik dan HAM di masa rezim Soeharto berkuasa, belum juga diadili seadil-adilnya. Bahkan penculikan aktivis mahasiswa dan aktivis pro demokrasi, hingga kini belum juga tuntas,” katanya.

Padahal instansi terkait pelanggaran HAM yang menangani itu, sudah menyerahkan rekomendasi dengan bukti-bukti otentik.

“Hasilnya belum juga memuaskan, bahkan pelaku penculikan aktivis 98, hingga kini masih lenggang kangkung dan sempat mengikuti perhelatan politik nasional. Semua tahu, siapa pelakunya. Dan kami pun tahu pelakunya, dan kami dengan tegas menolak lupa,” tegasnya.[]

Tinggalkan Balasan