Karya: Topan Bagaskara
Bocah sepuluh tahun berjalan
di sepanjang trotoar.
Karung goni berlubang di pundak
bawah matahari, adalah wajah
Kota Benteng yang abai.
O setiap menatap wajah bocah itu
aku teringat pada tarian seremonial
dalam upacara kebudayaan
dan festival-festival yang megah.
Semuanya seperti seketika
diseret angin, ringsek di dalam
botol bekas yang diremas
dan dikarungi olehnya.
Aku tidak kasihan kepadanya.
Tidak juga aku hendak meminta
jagat manusia memberi iba.
Bagiku, ia adalah lelaki bermartabat
lahir sebagai petarung
tanpa perlu masuk sekolah
menulis rumus matematika,
tata-bahasa, tata-warna
dan semua ilmu hidup yang datang
dari pengetahuan para guru
juga semua yang orang sebut buku.
Ia terlalu tangguh dan di mataku.
Ia sering menjelma begitu
banyak hal.
Bocah itu adalah gedung kesenian.
–semua yang kita kenal
sebagai pertunjukan maha karya.
Bocah itu adalah Undang-Undang
–pasal keberadilan dan kemakmuran
yang kita kunyah saban upacara
kenegaraan sambil menggerutu malas
karena bosan meladeni agenda
acara yang melulu begitu.
Bocah itu adalah lampu pada malam hari
untuk semua waktu tidur
di mana kita lelap dalam mendengkur
setelah merapikan beberapa mimpi
di balik tilam dan peluk sepasang tangan kita.
Bocah itu adalah matahari
bagi semua jam kerja yang sibuk
dan catatan pendapatan kas negara.
Ia telah menaklukkan bahasa kemajuan
dan meletakkannya di telapak kaki.
Membawa pergi ke lorong-lorong
mengoyak tempat pembuangan sampah.
Bila orang sedikit saja lapar sudah gemetar
lapar diperutnya adalah gendang koplo;
ia bergoyang sepanjang jalan
menembus petang, menembus subuh.
Bila orang ketar-ketir saat kursinya
digeser sedikit, takut tak berkuasa,
kursi bocah itu adalah semua tanah
dan semua langit. Ia memiliki tahta
pada semesta tak berbatas.
Gerak karung goni di pundaknya
adalah sebuah dunia yang utuh.
Dunia tidak tersentuh olah olahan
kata di bawah meja-meja.
Kota Benteng yang abai ini? Terlalu kecil
untuk hidupnya yang agung.
Bila ia mati, entah jauh atau dekat
dari rumah para pembesar yang suka
berkhotbah di layar televisi
derai lonceng di seribu gereja
bedug-bedug di masjid akan terasa senyap.
Tak ada orang yang mengenalnya
dan tak ada yang akan menangisinya
tapi kota yang abai ini
akan meratap sepanjang tahun
dirundung duka seluruh musim.
Bocah sepuluh tahun
berjalan di sepanjang trotoar.
Karung goni berlubang
di pundak bawah matahari itu,
alangkah cerah sepasang matanya.
Semua yang kukenal sebagai cahaya
seperti lindap seketika.
Jauh ia terus berjalan ke selatan
menembus kabut subuh
menderapi jam demi jam
yang dimiliki orang-orang tidur.
Tangerang, 17 Februari 2021