Dampak Buruk Oligarki Bagi Kebijakan Politik Indonesia

Nasional

Jakarta – Ada keresahan yang cukup luas terhadap fenomena menguatnya oligarki dalam kehidupan politik di Indonesia. Tampilnya segelintir elit super-kaya yang pelan-pelan mendominasi dan menentukan segala macam kebijakan politik kita.

Fenomena itu berkelindan dengan beragam persoalan maha pelit yang membelit bangsa ini, seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ancaman kerusakan ekologi yang parah.

Pernyataan tersebut, disampaikan Ilmuwan Politik Amerika Serikat Profesor Jeffrey A. Winters dalam Forum Grup Discussion (FGD) ‘Membangun Poros Politik Anti Oligarki’ yang diinisiasi Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima), Sabtu 16 Oktober 2021.

Prof Jeffrey A. Winters mencatat keterkaitan antara memburuknya praktek penegakan hukum dengan menguatnya oligarki. Supremasi hukum tertindih oleh dominasi orang kuat (oligark). Para oligark ini, yang sebagian besar kaya raya dari bisnis ekstraktif, menyiasati hukum untuk melanggengkan ekonomi rente, kapitalisme kroni, dan korupsi.

“Hari ini, kita yang marah terhadap revisi UU KPK dan pembegalan KPK tentu tak sulit menangkap keterlibatan orang-orang super-kuat, baik secara langsung maupun lewat parpol, dalam proses tersebut,” kata Prof Jeffrey.

Dosen Universitas Trisakti, Nuhastuti K Wardhani, juga mengamati seputar ekonomi. Di lapangan ekonomi, menurutnya, segelintir amat menguasai beragam lapangan usaha. Ia menyebutkan, perbankan di Indonesia hanya dikuasai oleh 30 keluarga dan tentu saja ada banyak lapangan usaha lain yang bernasib serupa.

“Tentu saja, praktek penguasahaan lapangan usaha dan pasar oleh segelintir pemain itu berkontribusi pada melebarnya ketimpangan ekonomi. Seperti banyak diungkap oleh sejumlah lembaga (Credit Suisse, Oxfam, dan TNP2K), 1 persen orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan dan sumber daya nasional. Sementara 10 persen terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional,” kata Nurhastuti.

Aktivis Perludem, Titi Anggraini, melihat pola kekuasaan hari ini semakin oligarkis dengan ruang partisipasi politik yang kian menyempit. Dalam perpolitikan Indonesia, dia menyebut adanya kehadiran semacam ‘multiple barriers to entry’ di mana Persyaratan parpol peserta pemilu merupakan yang paling rumit dan termahal di dunia.

“Setelah lolos sebagai peserta pemilu, parpol masih berhadapan rintangan untuk bisa mendudukkan wakilnya di DPR, yaitu parliamentary treshold. Dengan ambang batas yang semakin tinggi, makin sempit peluang parpol kecil dan parpol baru untuk masuk ke parlemen,” sebut Titi.

“Ruang politik yang sempit ini kemudian hanya diisi oleh mereka yang punya uang atau sumber daya lain (birokrat dan keluarga elit),” Sambungnya.

Tak hanya itu, Titi mengungkapkan penyempitan partisipasi politik juga terjadi pada ruang yang seharusnya menjamin hak-hak rakyat berekspresi dan menyampaikan pendapat. Ia mencontohkn seperti maraknya pembubaran demonstran, penangkapan aktivis, dan kriminalisasi terhadap mereka yang kritis.

Akibatnya, lanjut Titi, ada banyak kebijakan politik, seperti revisi UU KPK, revisi UU Miberba, dan pengesahan UU Cipta Kerja, tak melibatkan dan tak mau mendengar suara rakyat banyak.

“Menurut kami, kita tak bisa lagi berdiam atas perusakan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Segala keresahan dan kemarahan kita tak boleh menguap begitu saja, tetapi harus terartikulasi menjadi sebuah gagasan sekaligus gerakan bersama,” pungkas Titi.

Atas dasar kondisi tersebut, ada sejumlah poin yang direkomendasikannya, antara lain:

Pertama, pembatasan atau limitasi rekrutmen politik dengan melarang kerabat dari pejabat yang sedang berkuasa untuk mencalonkan diri/menempati jabatan publik;

Kedua, pembatasan dan transparansi biaya kampanye parpol dari pihak ketiga, baik individu maupun badan usaha. Sebagai alternatifnya, mendorong pembiayaan parpol lewat APBN;

Ketiga, penghapusan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold yang dianggap telah menyempitkan ruang partisipasi politik;

Keempat, pembatalan semua produk legislasi yang merugikan kepentingan publik, seperti revisi UU KPK, UU nomor 3/2020 tentang Minerba, dan UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Kelima, mendukung penguatan masyarakat sipil dan pembangunan wadah politik alternatif;

Keenam, memperjuangkan sistem ekonomi dan politik baru yang lebih demokratis, menghargai HAM, lebih berkeadilan sosial, dan menghormati lingkungan.

Ketujuh, memandang perlu adanya sebuah konsolidasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil, untuk menghadapi dominasi oligarki.

Kedelapan, perlunya duduk bersama untuk menyusun sebuah UU yang semangatnya anti-oligarki, yang berbentuk Omnibus Law, untuk ditawarkan sebagai gagasan alternatif terhadap UU Cipta Kerja dan UU berbau neoliberal lainnya.

167 thoughts on “Dampak Buruk Oligarki Bagi Kebijakan Politik Indonesia

  1. Ping-balik: sex games with cards
  2. I’ve been exploring for a little for any high quality articles or weblog posts in this sort of
    area . Exploring in Yahoo I at last stumbled upon this website.
    Reading this info So i’m happy to exhibit
    that I’ve a very just right uncanny feeling I found out exactly what I needed.
    I most without a doubt will make certain to don?t disregard this site and give it a glance on a continuing basis.

Tinggalkan Balasan