Oleh : Islah Bahrawi
Info Massa – Ketika asap reformasi sedang mengepul, Amien Rais adalah menu makan pagi, siang dan malam. Semua orang menyukai dan menyantapnya dengan lahap. Dia adalah koran dan televisi. Suaranya didengar, cara bicaranya ditiru, kesehariannya adalah komoditas yang didagangkan banyak hal.
Tapi itu tidak lama. Kemunculannya mulai terasa redup setelah tidak terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2004. Amien Rais hanya muncul dalam beberapa peristiwa, sesekali dia bersuara, tapi primadona panggung ternyata bukan lagi Amien Rais. Momentum politik bergeser dan tak lagi berpihak. Sejak itu dia mulai terlihat sering membentak, sembari menutup kupingnya sendiri.
Momentum politik tidak diciptakan, ia tercipta. Ketika momentum itu sejangkauan tangan dan kita tidak meraihnya, maka orang lain akan merampasnya. Politik adalah elektabilitas yang terbentuk, bukan dipaksakan. Kita tidak perlu sekolah politik di Chicago untuk menjadi presiden, cukup menjadi eksportir mebel untuk meraihnya, dan kita tidak juga harus membenci si tukang mebel dengan takdirnya itu. Popularitas, elektabilitas dan momentum dalam politik tidak selalu berbanding sejajar, masing-masing adalah wilayah aneh tanpa perbatasan.
Di usia senjanya, Amien Rais kelimpungan mencari momentumnya yang hilang. Dia mengendarai apa saja. Berkumpul bersama Habaib atau Tahlilan, sebuah sikap seorang “Muhammadiyah” yang aneh. Tapi kita harus maklum, Amien Rais perlu kendaraan untuk “deja vu” yang semakin sulit untuk dirangkai ulang. Ratusan tahun sebelum Masehi, Plato sudah mengingatkan ini dalam Republik: “dengan watak yang selalu berlawanan, usia muda maupun tua dalam politik, semua hal akan terasa menjadi beban.”
“Presidents are selected, not elected”, kata Roosevelt. Siapa saja boleh merasa terpilih untuk menjadi presiden, tapi jika tidak dipilih akan percuma – sekedar jadi “gelandangan politik”. Dan secara pribadi, saya pernah mengagumi Amien Rais. Ketika dia mulai jadi penghasut, saya menjauh agar tidak terhasut. Adagium yang mendominasi Amien Rais belakangan ini hanya untuk membenci Jokowi, selebihnya adalah kegagalan untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejak itu koordinat kekaguman semakin sulit bertemu dalam satu titik, bahkan absis dan ordinat itu nampaknya semakin menjauh. Mungkin karena Amien berusaha kembali ke masa lalu, sementara orang-orang yang pernah mengaguminya hanya memikirkan masa depan. Mungkin karena itu juga Amien Rais sejak dulu hanya memiliki popularitas, bukan elektabilitas. Mungkin.[]