Islah Bahrawi Menilai Tindak Kekerasan Di Dunia Pendidikan Sangat Ambigu dan Anomali

Nasional

Direktur Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi, menilai tindak kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia sebenarnya sangat ambiguitas dan anomali.

“Karena dunia pendidikan kita ini tidak boleh ada kekerasan, apalagi dunia pendidikan keislaman yang berbasis agama,” kata Islah Bahrawi, kepada infomassa, Rabu 7 September 2022.

Pernyataan itu merupakan tanggapan Islah atas kejadian tindak kekerasan yang sedang marak terjadi di pondok pesantren.

Islah Bahrawi mengatakan jika pihak penyelenggara pendidikan sampai kecolongan dengan adanya tindak kekerasan, baik fisik ataupun mental, maka ini akan menjadi embrio militansi yang overwhelming.

“Artinya militansi keagamaan yang akhirnya meluap-luap yang pada akhirnya disalurkan dalam kekerasan-kekerasan fisik, lain cerita jika sekolah-sekolah militer misalnya.” Ungkap sosok yang akrab di sapa Cak Islah.

Menurut Cak Islah sebenarnya kejadian seperti di Gontor ini bukanlah merupakan yang pertama kali.

“Di beberapa kampus, di sekolah-sekolah pelayaran pernah terjadi kekerasan yang berujung kematian ini. Dan amat saya sayangkan kalau ini terjadi di sekelas pondok modern Gontor.” tuturnya.

Islah Bahrawi sangat menyayangkan kejadian yang dialami seorang santri berinisial AM. Ia menyesali karena ada kata modern dalam lembaga pendidikan tersebut, sebab Gontor selalu melekat dengan kata Pondok Modern Gontor.

“Nah modern disini bukan merupakan suatu yang berhubungan dengan teknologi, tetapi dalam konsep pemikiran,” ungkap Cak Islah.

Menurut Cak Islah pesantren modern Gontor merupakan sekolah berbasis keagamaan islam yang seharusnya memiliki pandangan visioner.

Islah menegaskan, jangan sampai memberikan ruang kepada tindakan kekerasan seperti yang telah terjadi.

“kalau kita lihat kronologinya, bahkan pesantren itu sendiri menutup-nutupi kejadian ini. Inikan tidak mendidik sama sekali terhadap publik bahwa sebuah lembaga pendidikan berbasis agama ternyata berusaha menutup-nutupi kejahatan kemanusiaan yang terjadi didalamnya,” tegas Direktur Eksekutif JMI tersebut.

Islah menyimpulkan bahwa metodologi-metodologi pendidikan seperti ini saat ini memurutnya sudah tidak relevan.

Pasalnya, kata dia, dengan metodologi kuno yang mengandung unsur kekerasan, tidak lebih hanya menghasilkan dendam berkepanjanagan yang tidak menutup kemungkinan si korban bisa membenci agamanya.

Kejadian seperti itu, disebutkan Cak Islah, banyak terjadi di Afghanistan, Pakistan, banyak sekali guru-guru atau ustaz di sekolah islam madrasah itu menggunakan metode kekerasan terhadap siswanya.

Alhasil, kata dia, banyak sekali menghadirkan siswa yang pada akhirnya tidak percaya terhadap agama itu, bahkan tidak percaya pada konsep theologis.

“Ini banyak disampaikan testimoni dari orang-orang arab, Afghanistan, Pakistan yang telah menjadi Atheis,” ungkap Cak Islah.

Cak Islah turut berbagi kisah tentang seseorang bernama Rana Ahmad.

“Ia memilih menjadi Atheis karena awalnya dididik secara ketat dalam sekolah keislaman yang dibelenggu dengan kekerasan dengan hukuman yang dianggap pahala sebagai metode pendidikan yang efektif,” Cak Islah mengisahkan.

Menurut Cak Islah, metode tersebut jelas salah. Cara itu menurutnya hanya menyisakan trauma bagi generasi muda.

“Generasi muda mendatang kita yang berbasis agama ini akan menjadi orang orang yang takut, menjadi orang-orang yang trauma terhadap dunia pendidikan keagamaan,” kata Islah Bahrawi.

Editor: Mauladi Fachrian

Tinggalkan Balasan