Lampu Merah Pertumbuhan Konsumsi Masyarakat

Opini


Oleh: Gede Sandra/Akademisi & Ekonom Universitas Bung Karno (UBK)

Opini – Lebih dari seminggu yang lalu (7/2) BPS mempublikasikan data pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021. Tercatat tumbuh 3,6 persen.

Meskipun di Indonesia pertumbuhan ekspor 2021 melompat (hingga 24,04 persen), tapi pertumbuhan impor 2021 juga melompat nyaris sama tinggi (23,31 persen). Sehingga total kontribusi dari ekspor minus impor di pertumbuhan ekonomi tahun 2021 hanya 0,99 persen. Itupun masih kalah oleh pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (1,21 persen) dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga (1,09 persen).

Menurut BPS juga, struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menurut pengeluaran atas dasar harga berlaku tahun 2021 tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh Komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia yaitu sebesar 54,42 persen.

Konsumsi rumah tangga yang menyumbang separuh ekonomi Indonesia tahun 2021 hanya tumbuh 2,02 persen. Padahal sepanjang 2015-2019 pertumbuhan konsumsi ada di kisaran 4-5 persen. Artinya jelas, konsumsi mayoritas masyarakat tahun 2021 belum tumbuh normal seperti sebelum pandemi.

Lemahnya pertumbuhan konsumsi masyarakat diakibatkan oleh lemahnya pertumbuhan kredit perbankan. Pertumbuhan kredit tahun 2021 pun hanya sanggup terdongkrak ke kisaran 5 persen (setelah minus 2 persen di tahun 2020), jelas tidak akan sanggup mengangkat ekonomi seperti saat normal. Pertumbuhan Indonesia yang normal, rata-rata, adalah kisaran 4-5 persen, dan untuk mencapainya pertumbuhan kredit harus di atas 10 persen.

Lemahnya pertumbuhan kredit perbankan ini disebabkan terjadinya ‘crowding out effect’. Artinya dana simpanan (saving) masyarakat di perbankan tersedot untuk membiayai program pemerintah, dalam hal ini adalah surat Utang Negara (SUN). Kapasitas bank sentral BI untuk mencetak uang pun tersedot ke program ini, sehingga Lembaga dunia menegur agar BI tahun depan tidak lagi melakukan kebijakan ‘quantitative easing’ ini.

Program berutangnya Ibu Sri Mulyani dan Kementerian Keuangan, yang di bawah koordinasi Menko Perekonomian telah membawa bencana. Dana masyarakat malah tersedot. Padahal idealnya, sesuai ilmu ekonomi makro, dana di perbankan seharusnya Kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Yang tak terjadi, pertumbuhan kredit malah sempat minus 2 persen tahun 2020. Kebijakan tim ekonomi yang menyebabkan ini, bukan hanya soal pandemi. Seharusnya sejak 2021 kita dapat bangkit lebih cepat dan lebih kuat.

Tinggalkan Balasan