Islah Bahrawi : Negara Islam, Antara Cita-cita dan Utopia

Opini

Oleh: Islah Bahrawi / Direktur Eksekutif Jaringan Islam Liberal

Opini – “Utopia kekuasaan mutlak selalu dibangun, dijejalkan paksa melalui gambaran ‘surga’ yang hilang, agar kebodohan terpantik untuk mempercepat revolusi,” tulis Arthur Koestler pada tahun 1949.

Koestler seorang intelektual komunis yang merintih. Dia memberontak kepada brutalitas Stalin yang membelokkan komunisme ke arah Stalinisme.

“Memang benar dalam menghadapi rasa ketidakadilan satu-satunya sikap terhormat adalah dengan memberontak. Tapi rasa tidak adil haruslah menjadi kesepakatan kolektif. Jika hanya didefinisikan sepihak, maka ambisi segelintir orang akan mencemari keturunan revolusionernya sendiri,” renung Koestler.

Islam dalam penerjemahan ideologi politik juga berlaku sama. Cita-cita negara Islam – seperti halnya negara komunis – adalah jurus kesekian dari sebagian manusia untuk menguasai manusia lainnya. Bagai lomba, kekuasaan didaki dengan berbagai cara. Teologi berusaha dilokalisir oleh manusia dalam petak-petak tanah untuk dijadikan kekuasaan wilayah. Dalam postulat politik, impian teokrasi digambarkan sebagai perjalanan menuju “langit” dengan menjadikan pluralitas kepala rakyat jelata sebagai tangga. Pada akhirnya manusia tetaplah manusia.

Negara agama bukanlah tuhan sebagai pemimpinnya. “Tuhan tidak perlu negara”, kata Ibnu Khaldun.

Negara, bagaimanapun adalah kelindan manusia. Ada korupsi, nepotisme, ada disparitas yang dibangun selayaknya manusia dengan segala kejahatannya. Negara agama hanya sekedar nama Tuhan, plakat dalam atributnya.

“Lalu dari berbagai kenyataan sebuah kecewa berasal, dari sana juga suatu kesadaran terlahir,” kata Kahlil Gibran.

Di Indonesia, DI/TII dengan cita-cita untuk mewujudkan NII pertama kali muncul di Tasikmalaya. Kartosuwiryo mencetuskan cita-citanya karena latah kepada identitas agama. Menurutnya, wilayah harus dicengkram dan negara harus dibangun untuk mempermudah tuhan dalam menegakkan aturannya. Kartosuwiryo merasa tuhan perlu satu lokasi untuk mengislamkan seluruh manusia. Seolah Tuhan tidak punya manajerial yang bagus tanpa bantuan manusia.

Ide politisasi agama memang lucu. Orang pintar jadi bodoh, orang bodoh makin bodoh. “Sontoloyo!”, kata Bung Karno.

1 thought on “Islah Bahrawi : Negara Islam, Antara Cita-cita dan Utopia

Tinggalkan Balasan