Sidang Praperadilan Kasus Jimmy Lie Sesuai Prosedur

Tangerang Raya

Kota Tangerang – Sidang Praperadilan kasus penggunaan NIK orang lain yakni sah atau tidaknya penetapan tersangka Jimmy Lie dinyatakan oleh saksi bahwa telah sesuai dengan prosedur. Dimana ia menjadi pemohon dan Penyidik Unit Krimum Polres Metro Tangerang Kota selaku termohon bergelar di PN Tangerang, Jumat (24/6/2022).

Sidang yang di pimpin Majelis Hakim tunggal Rustiyono di ruang sidang 4 ini para pihak hadir dengan agenda untuk termohon menghadirkan keterangan saksi ahli. Sementara pihak pemohon mengajukan 32 bukti kepada hakim yang disepakati untuk tidak dibacakan.

Saksi Ahli Kombes Pol. (Purn) Dr. Warasman Marbun SH, M.Hum menerangkan di depan hakim dan para pihak bahwa penetapan tersangka dan penahanan saudara Jimmy Lie sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Pendapat tersebut berkaca dari aspek formil yang dilakukan penyidik sudah sesuai KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menetapkan seseorang jadi tersangka dan menahannya.

“Seseorang yang sudah memiliki KTP masa dia tidak tau NIK yang sebenarnya. Maka ada dalam ilmu pidana itu, ilmu bantu, ilmu logika, ilmu pengetahuan ilmiah, kemudian ilmu secara sosiologis, masa yang begini milik saya. Jadi ini yang dilihat kaitannya disitu, karena KTP itu merupakan identitas diri seseorang penduduk,” ujar Warasman Marbun.

“Jadi pendapat saya tidak ada persoalan siapa yang membuat itu. Jadi bisa memakai Pasal 263 atau Pasal 266 ayat 2 KUHP. Karena dia digunakan untuk keterangan usahanya,” sambungnya.

Menurut Dosen Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana ini, persidangan pra peradilan itu hanya melihat dari aspek formil, kalau pokok perkara bukan domain praperadilan melainkan peradilan umum uji materil kebenaran.

“Gelar pokok perkara sangat penting, disitu akan terlihat alat bukti dan barang bukti sudah didapat penyidik. Karena itu yang dinamakan serangkaian penyidikan mengumpulkan bukti untuk membuat gelar tindak pidana dan menemukan tersangkanya,”

Saksi ahli menjawab pertanyaan aspek formil dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Peradilan dari termohon. Bahwa berdasarkan Pasal 2 katakan untuk menilai penetapan tersangka itu disebut dua alat bukti, artinya mendapat dua alat bukti lah mendapat aspek formil.

Kemudian menjawab pertanyaan selanjutnya bahwa pokok perkara pidana dan penerapan pasal tidak dapat diuji di praperadilan karena itu sudah masuk aspek materil.

“Pokok perkara pidana domain dan yuridis pengadilan umum. Dan penetapan pasal, karena menguraikan unsur-unsur dari tindak pidana yang diduga oleh seseorang itu pun diperiksa oleh pokok perkara di sidang peradilan umum jadi bukan domain dari praperdalian,” ungkapnya.

Saat dikonfirmasi, Warasman Marbun sampaikan garis besar itu sudah ia jelaskan semua termasuk teori maupun asas asas hukum, dan terutama yang berkaitan dengan tersangka, berbicara dengan dua alat bukti minimal dua alat bukti sebagai mana dengan pasal 184 KUHAP.

“Artinya ada keterangan saksi yang bersesuaian berikut dengan alat bukti, kemudian ada keterangan ahli berkaitan dengan tadi keterangan dari saksi saksi. Jiika itu ada kesesuaian berarti itu bisa jadi alat bukti, berarti kalau kita sudah dapatkan itu sudah ada dua bukti, jika ada lagi itu alat ketiga,” paparnya usai memberikan keterangan di PN Tangerang, Jumat (24/6/2022).

Selanjutnya, Warasman berpendapat sesuai dengan dasar hukum putusan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-XII/2014, bahwa hematnya sebagi saksi ahli sudah terpenuhi dua alat bukti.

“Karena tadi di sampaikan yang bersesuai, kalau bersesuai 1 alat bukti, kemudian tadi hakim sudah memeriksa dua ahli, kemudian bersesuai lagi udah dua alat bukti, dan kemudian sudah disita juga alat bukti surat.”

“Jadi kalau itu sudah di sita sudah menjadi alat bukti yang sesuai sudah di lakukan termohon. Jadi itulah yang selalu bertanya ke saya,” katanya.

Menurut Ahli Hukum Pidana Mabes Polri ini yang sudah dijabarkan praperadilan tadi tindakan penyidik sudah sesuai kewenangannya dan prosedur.

Karena sejatinya di lakukan oleh penyidik itu yang disebut serangkaian tindakan penyidikan harus betul-betul satu sesuai dengan kewenangannya, kedua sesuai dengan prosedur. Apabila ada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) lebih dari satu dengan alasan kuat berganti penyidik akibat sesuatu hal seperti mutasi dan lain sebagainya diperbolehkan.

“inilah menjadi yang diuji di praperadilan benarkah sesuai dengan tugas dan wewenangnya juga ada Sprindik kalau orang-orang itu tidak berganti ganti terus tapi kalau ada berganti muncul dua sprindik baru itu benar. Jadi yang tidak boleh itu menyidik padahal di Sprindik nya itu tidak ada namanya,”

“kalau yang sudah dibuktikan tadi oleh pemohon, dan pertanyaan pertanyaan tadi di sidang kesaya apa yang tercantum didalam surat perintah itulah yang menyidik, berarti sesuai dengan kewenangan,” paparnya.

Kemudian, menanggapi pelaporan bukan dari korban, Warasman berpendapat diperbolehkan lantatan itu merupakan tindak pidana murni, siapa saja berhak.

“Boleh orang lain melapor, karena delik pidana murni, siapa saja, yang melihat, yang mendengar, bahkan mengetahui bukan dia korban bisa dia melapor,” ujarnya.

Pendapat tersebut diperkuat dengan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, ia katakam sudah di atur dengan sangat jelas tentang penanganan perkara. Mulai dari penerimaan laporan polisi, kemudian penyelidikan, penyidikan, sampai menyerahkan berkas berkas perkara kejaksa, sudah di atur di situ semua.

“Bahkan kalau terjadi dugaan pelanggaran kepada penyidik ada di situ juga aturannya, jadi mereka melaksanakan pengawasan terhadap si penyelidik itu,” tandasnya.

Kembali ia tegaskan, maksudnya lembaga Praperadilan, yakni untuk mengontrol kinerja khususnya di bidang penyidikan apakah sesuai dengan prosedural sesuai dengan aturan KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019.

“Jadi memeriksa hasil kinerja penyidikan itu berupa penyelidikan di peradilan baik itu objeknya untuk di periksa oleh hakim tingkat negeri disitu dapat terlihat, oh ini ada penyidikannya tidak benar atau tidak sesuai prosedur. Maka hakim praperadilan lah yang memutuskan,” papar Warasman.

Terakhir, ia berpendapat bahwa putusan Praperadilan di pengadilan negeri sudah keputusan yang mengikat, tidak bisa banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dimana Perma No. 4 Tahun 2016 melarang membayar hukum tentang putusan Praperadilan.

“Oh tidak bisa, tingkat banding tidak bisa serta tingkat kasasi dan peninjauan kembali tidak bisa ada Perma melarang membayar hukum tentang putusan Praperadilan. Jadi artinya jika di putuskan oleh praperadilan itu sudah menjadi final and binding atau keputusan yang mengikat terutama kepada mereka yang berperkara, artinya kalau sudah di putus para peradilan misalnya tidak sah ini penyidikan, ya berartikan tidak dilanjutkan. Tapi kalau dinyatakan benar konsekuensinya dilanjutkan sampai tingkat kejaksaa,” pungkas Warasman.

Sekedar informasi, sidang lanjutan Praperadilan sah atau tidaknya penetapan tersangka dan penahanan Jimmy Lie berlanjut pada Senin 27 Juni 2022.

Tinggalkan Balasan