Daerah
Beranda / Daerah / Pabrik-Pabrik Hengkang dari Tangerang: Sinyal Deindustrialisasi Dini di Jantung Industri Nasional

Pabrik-Pabrik Hengkang dari Tangerang: Sinyal Deindustrialisasi Dini di Jantung Industri Nasional

Ilustrasi pabrik di Tangerang yang ditinggal pemliknya karena beberapa faktor. (Foto: Info Massa/Ilustrasi).

Info Massa — Gelombang hengkangnya sejumlah pabrik besar dari wilayah Tangerang, Banten, memicu kekhawatiran munculnya gejala deindustrialisasi dini di salah satu kawasan manufaktur terbesar Indonesia.

Dalam dua tahun terakhir, sedikitnya tiga perusahaan besar menutup operasional atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Data dan pemberitaan menunjukkan, penutupan tersebut bukan sekadar fluktuasi ekonomi jangka pendek, melainkan bagian dari pergeseran struktural yang lebih luas dalam lanskap industri nasional.

Pada Januari 2025, PT Victory Chingluh Indonesia, produsen alas kaki yang menjadi pemasok utama merek global seperti Nike resmi menghentikan produksi.

Menurut laporan Banpos.co (14 Januari 2025), sebanyak 2.400 buruh terkena PHK akibat penutupan tersebut. Tak lama berselang, Pasardana.id (7 Maret 2025) memberitakan bahwa dua pabrik sepatu lain di Tangerang termasuk PT Adis Dimension Footwear juga melakukan langkah serupa dengan alasan efisiensi dan penurunan permintaan global.

Komisioner KPU Kota Tangerang Tercatat Jadi Ketua MPI KNPI, Aktivis Mahasiswa Desak DKPP Turun Tangan

Gelombang ini diperparah dengan kabar dari RRI.co.id (2025) tentang penutupan PT Sanken Indonesia, yang memicu ancaman PHK massal di sektor elektronik.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (2024), lebih dari 25.000 pekerja manufaktur di Provinsi Banten terdampak PHK atau dirumahkan sepanjang 2023–2024, dan sebagian besar berasal dari Tangerang Raya.

Beberapa perusahaan besar disebut memilih merelokasi pabriknya ke daerah dengan upah lebih rendah, seperti Brebes dan Tegal, Jawa Tengah, di mana Upah Minimum Provinsi (UMP) mencapai sekitar Rp 2,1 juta jauh di bawah Banten (Rp 2,7 juta).

Laporan investigatif Majalah Sedane (2021) mencatat langkah Panarub Group yang memindahkan sebagian produksi ke Brebes sebagai strategi efisiensi jangka panjang.

Kebijakan ini dinilai sebagai respons terhadap tingginya biaya tenaga kerja di Tangerang dan beban regulasi lingkungan yang semakin ketat.

PIM Duga Main Mata Antara Perkim dan Inspektorat Kota Tangerang

Fenomena relokasi industri memunculkan efek domino yang signifikan terhadap ekonomi lokal. Menurut penelitian Abdul Rosyid Warisman yang meneliti fenomena ini menyebut kosistem ekonomi Tangerang sangat bergantung pada sirkulasi upah buruh (wage driven economy).

“Ketika ribuan pekerja kehilangan pendapatan tetap, yang terdampak bukan hanya keluarga mereka, tapi juga warung makan, pedagang kecil, dan sektor informal lainnya. Ada efek berantai yang meluas,” jelas Rosyid kepada Info Massa, Kamis (16/10).

Ekonom Dani Rodrik (2016) dalam jurnal Journal of Economic Growth menyebut istilah premature deindustrialization untuk menggambarkan penurunan kontribusi industri sebelum ekonomi mencapai kematangan.

Fenomena di Tangerang disebut menunjukkan gejala serupa: pabrik padat karya tutup tanpa munculnya industri berteknologi tinggi yang menggantikannya.

Sementara menurut Hausmann dan Hidalgo (2019) dari Harvard Kennedy School, daerah yang gagal bertransformasi menuju industri berbasis nilai tambah akan kehilangan daya saing dan stagnan dalam pertumbuhan.

Proyek Pengerjaan Jalan Oleh PU Kota Tangerang Tidak Tepat Sasaran

“Jika tren ini berlanjut tanpa strategi reindustrialisasi, Tangerang bisa kehilangan statusnya sebagai pusat industri nasional,” ujar Rosyid.

Rosyid menegaskan pemerintah daerah perlu merespons cepat dengan strategi reindustrialisasi yang menekankan inovasi, pelatihan tenaga kerja, dan pemberian insentif bagi industri ramah lingkungan.

“Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan industri padat karya dengan tenaga murah. Harus ada pergeseran ke arah industri yang berbasis teknologi, efisien, dan berkelanjutan,” jelasnya.

Dalam tiga dekade, Tangerang dikenal sebagai jantung industri nasional, menampung ratusan pabrik besar dari sektor sepatu, tekstil, baja, hingga elektronik.

Namun kini, banyak pabrik menutup operasional atau mengurangi kapasitas. Laporan Antaranews (2024) bahkan menyebut dua pabrik baja di wilayah Tangerang terpaksa tutup karena tidak sanggup memenuhi ketentuan baru soal limbah industri.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kota industri yang dulu menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional kini tengah menghadapi tantangan struktural serius.

“Fenomena hengkangnya pabrik-pabrik di Tangerang bukan hanya masalah lokal, melainkan refleksi dari tantangan industri nasional, antara efisiensi ekonomi dan risiko deindustrialisasi dini. Tanpa intervensi kebijakan yang terarah, Tangerang bisa berubah dari simbol kekuatan manufaktur menjadi contoh klasik bagaimana kejayaan industri bisa memudar akibat kegagalan beradaptasi dengan dinamika ekonomi global,” tutup Rosyid.[]

Komentar

Tinggalkan Balasan

× Advertisement
× Advertisement