Info Massa – Dua puluh tahun pasca semburan panas Lapindo menenggelamkan permukiman di Sidoarjo, kawasan ini kembali mencuri perhatian dunia. Kali ini bukan karena tragedi, melainkan karena temuan mineral langka di dalam lumpurnya yang berpotensi menjadi bahan utama industri baterai mobil listrik dan teknologi hijau masa depan.
Sejumlah peneliti dan lembaga geologi nasional mengonfirmasi bahwa Lumpur Lapindo menyimpan logam bernilai tinggi, di antaranya litium (Li) dan stronsium (Sr). Kedua unsur tersebut dikenal sebagai critical raw materials yang kini menjadi rebutan di tengah transisi energi global.
Ahli geologi Handoko Teguh Wibowo, yang meneliti kawasan Lapindo selama lebih dari satu dekade, mengatakan bahwa hasil analisis laboratorium menunjukkan adanya mineral berharga dalam lapisan lumpur yang keluar dari perut bumi Sidoarjo.
“Ada beberapa material yang keluar terutama berupa lumpur, ada mineral berharga yang terkandung di dalamnya. Di sini ada beberapa mineral kritis antara lain lithium dan stronsium,” ujar Handoko dalam wawancara yang dikutup dari Liputan6.com.
Handoko menuturkan bahwa indikasi keberadaan unsur tanah jarang di kawasan tersebut sudah muncul sejak tahun 2008, tak lama setelah semburan pertama terjadi.
“Material-material yang keluar kemudian dianalisis. Jadi sejak 2008 sebenarnya sudah teridentifikasi unsur-unsur tanah jarang di sini, juga unsur yang sifatnya ekonomis,” jelasnya.
“Artinya di sini seperti kue lapis yang siap tersaji,” lanjutnya menggambarkan karakter lapisan lumpur yang homogen dan stabil secara mineralogi.
Hasil riset lapangan ini diperkuat oleh penyelidikan resmi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kepala Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, Hariyanto, mengungkapkan bahwa penyelidikan pada tahun 2022–2023 berhasil mengonfirmasi kadar mineral langka dengan konsentrasi signifikan.
“Kandungan lithium di Lumpur Lapindo kadarnya mencapai 99 hingga 280 ppm, sementara untuk stronsium kadarnya mencapai 255 hingga 650 ppm,”
kata Hariyanto dalam laporan InfoTambang.
Sementara itu, Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi saat itu, menjelaskan bahwa temuan ini sejalan dengan meningkatnya kebutuhan global akan bahan baku industri baterai dan kendaraan listrik.
“Kandungan litium di lumpur Lapindo memiliki kadar 99,26–280,46 ppm, dan stronsium dengan kadar 255,44–650,49 ppm,” ujarnya kepada Suara.com.
Fenomena ini menandai perubahan cara pandang terhadap Lapindo. Dulu dianggap kutukan geologi, kini lumpur tersebut mulai dilihat sebagai sumber daya strategis nasional.
Peneliti dari berbagai universitas pun berlomba melakukan inovasi pemanfaatan. Tim mahasiswa Universitas Pertamina, misalnya, berhasil mengembangkan filter air ramah lingkungan berbasis lumpur Lapindo untuk mengurangi kadar logam berat dalam air tercemar.
“Sejak bencana Lumpur Lapindo, jutaan meter kubik material tersisa tanpa pemanfaatan optimal. Riset kami menemukan lumpur ini berpotensi sebagai media penyaring air,” ungkap salah satu anggota tim, dikutip dari universitaspertamina.ac.id.
Dengan potensi yang terkandung didalamnya, hal iniP ini mulai menarik perhatian investor asing dan perusahaan energi global. Negara-negara industri disebut tengah memantau perkembangan riset Indonesia untuk memastikan potensi ekstraksi logam tanah jarang dari lumpur vulkanik.
Namun, para peneliti mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam pengelolaan.
“Potensi ini menarik, tetapi harus hati-hati. Kandungan mineralnya perlu riset lanjutan agar tahu kelayakan ekonomi dan dampak lingkungannya,”
tegas Handoko.
Badan Geologi juga menekankan bahwa seluruh proses eksplorasi dan penelitian lanjutan harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, mengingat kawasan semburan Lapindo masih aktif secara geotermal.
Dengan kandungan silika, litium, stronsium, dan unsur tanah jarang lainnya, lumpur Lapindo kini menjadi simbol baru dari potensi sumber daya alam tak terduga Indonesia.
Sementara itu Kementerian ESDM dikabarkan tengah menyiapkan kerangka regulasi untuk mengelola mineral strategis hasil fenomena geologi, termasuk yang berasal dari Lapindo.
Meski masih panjang jalan menuju eksploitasi komersial, satu hal mulai jelas: Lumpur yang dulu disebut sebagai kutukan, kini justru dilihat sebagai berkah tersembunyi dan berpotensi menjadi laboratorium alam terbesar Indonesia.[]
Sumber: Liputan6.com, CNBC Indonesia, InfoTambang.id, Suara.com, Universitas Pertamina, Badan Geologi ESDM (2022–2024).
Komentar