Anies Baswedan: Saya Yang Jalan-Jalan, Kenapa Anda Yang Takut

Nasional

Oleh: Ari Junaedi, Doktor Komunikasi Politik dan Direktur Lembaga kajian Politik Nusakom Pratama

“Abdi nu ngider naha anjeun nu keder” – Anies Baswedan.

infomassa – Tulisan berbahasa Sunda di kaos yang dikenakan Anies Baswedan saat sosialisasi pencapresan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (22/1/2023) tak pelak mengundang beragam tanya. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, arti dari selarik kalimat tersebut adalah: Saya yang jalan-jalan, kenapa Anda yang takut.

Bagi pendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atau Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, harus diakui nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah rival terberat dalam berbagai hasil jajak pendapat oleh berbagai lembaga survei sebagai bakal calon presiden di Pilpres 2024.

Beragam lembaga survei, saling bergantian menempatkan tiga kandidat sebagai pemuncak hasil survei untuk capres di Pilpres 2024. Hanya saja secara rata-rata, Ganjar yang secara konsisten menempati urutan pertama. Endors politik yang disampaikan secara terbuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap sosok capres yang akan didukungnya, lebih banyak mengarah kepada sosok Ganjar Pranowo ketimbang Prabowo Subianto.

Selain memiliki chemistry, antara Ganjar dengan Jokowi ditautkan dengan kesamaan asal partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Beragam “kode keras” yang dilontarkan Jokowi di berbagai kesempatan agar memilih sosok yang berambut putih dan wajah berkerut diterjemahkan publik kepada sosok Ganjar.

Prabowo, Anies, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar apalagi Agus Harimurti Yudhoyono jelas tidak memiliki kriteria tersebut. Sosok berambut putih dan berwajah keriput dikonotasikan Jokowi sebagai tipe pemimpin yang suka bekerja keras. Pemimpin harus rajin turun ke lapangan. Bukan ngadem di ruangan berpendingin, alih-alih pemimpin yang rajin facial dan rutin perawatan ke salon kegantengan.

Bahkan di suatu acara relawan Jokowi di Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, Jokowi tanpa tedeng aling-aling menyebut sosok capres mendatang mungkin telah hadir bersama di acara itu. Padahal, hanya sosok Ganjar yang digadang-gadang berbagai kalangan sebagai capres idola di Pilpres 2024 hadir dan menemani Jokowi di acara tersebut.

Terhadap sosok Anies Baswedan, Jokowi secara tersirat dan tersurat tidak bisa memungkiri bahwa dirinya “berseberangan” dengan Anies yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kabinet periode pertama Jokowi menjadi presiden. Berulang kali Jokowi menyerukan agar calon pemilih di Pilpres 2024 menghindari politik identitas yang rawan memecah belah bangsa.

Politik anti-kebinekaan sangat mencederai tujuan para pendiri bangsa agar “keguyuban” beragam suku, agama, dan aliran kepercayaan menjadi perekat kebangsaan. Publik tentu masih mengenang, pemilihan gubernur di DKI Jakarta tahun 2017 yang berlangsung dua putaran begitu banyak meninggalkan “luka”.

Demi mengalahkan Ahok, petahana gubernur mantan pasangan Jokowi saat menjabat gubernur DKI, pendukung Anies melancarkan “semua cara”. Mulai dari strategi penggunaan “ayat” hingga “mayat” dilancarkan relawan dan tim pendukung Anies. Hasilnya Anies melenggang. Ahok kalah. Jagat politik kita pun memiliki jejak kelam tentang kampanye politik yang tidak beradab dan bermartabat.

Anies telah dengan tegas membantah dirinya menggunakan politik identitas dan anti-kebinekaan. Anies justru menunjukkan pencapresannya oleh Partai Nasdem bersama PKS dan Partai Demokrat di Koalisi Perubahan malah “dicemaskan berlebihan “ oleh partai-partai lain.

Kesantunan dalam politik adalah trade mark dari mantan Rektor Universitas Paramadina itu. Kelihaian Anies dalam memilin dan mematut kata demi kata adalah kepiawaian yang susah ditandingi oleh Ganjar dan Prabowo.

Memang Bisa Hanya Tidur Bisa Menang?

Politik pada dasarnya bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan sebagai arena untuk “membantai” lawan politik tanpa etika, sopan santun politik.

Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres di 2014 serta 2019 membuktikan kampanye ternyata bisa berakhir di meja pengadilan agama. Akibat beda pilihan, sepasang suami-istri bisa bercerai dan bubar rumah tangganya. Ikatan pertemanan dan kekeluargaan juga berakhir bubar karena beda pilihan politik.

Akan sangat “lucu” dan “janggal” segregasi politik akibat perbedaan pilihan yang begitu tajam di antara kubu-kubu yang bersebarangan, ternyata berbeda di panggung politik utama. Jokowi merekrut rival terkuatnya di pilpres dengan menjadikan Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai “pembantu” di kabinetnya.

lapangan, elektabilitas Gibran juga menjanjikan untuk ajang pemilihan kepala daerah serta besarnya dukungan partai-partai.

Dalam strategi kampanye, tidak ada istilah “tinggal tidur” dan “pasti menang” mengingat memori calon pemilih masih labil sehingga membutuhkan penetrasi politik yang ajeg. Kampanye harus dikemas dengan strategi.

Menurut Andrew Lock dan Phil Harris (Political Marketing – Vive la Difference !, European Journal of Marketing Vol 30, 1996) kampanye politik bertujuan untuk pembentukan imaji politik. Untuk itu parpol harus menjalin kegiatan kampanye, biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tatanan pengetahuan dan kognitif.

Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan, atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian, atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye.

Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara konkret dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan ini dapat terjadi sekali itu saja atau juga terjadi secara berkelanjutan.

Anies sadar peluangnya untuk menang tidak boleh redup di saat dirinya sudah menanggalkan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Prabowo dan Ganjar masih diuntungkan dengan posisinya. Jadi, salahkah Anies melakukan kampanye dini sementara partai-partai lain masih bingung mencari format koalisi dan gamang mencari sosok yang potensial menang di Pilpres 2024?

Tinggalkan Balasan