Ketika Demokrasi Dijegal RKUHP

Opini

Oleh: Ahmad Vadhilah/Akademisi

Opini – Dilema Demokrasi saat ini terkait soal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang biasa di sebut RKUHP, di mana poin-poin di dalamya sangat krusial dan sangat kontradiktif mengingat Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan Pancasila dan sekaligus negara yang menganut sistem Demokrasi.

Bagaimana tidak, dalam 14 poin RKUHP yang dirancang oleh Pemerintah, ada banyak sekali poin yang sangat kontradiktif di dalamnya. Diantaranya dijelaskan pada poin ke 3 tentang menyerang dan merendahkan harkat martabat Presiden ,Wakil Presiden, dan Lembaga Negara. Hal ini pun menjadi pertanyaan di seluruh masyarakat, terutama di kalangan kaum terdidik yakni Pelajar/Mahasiswa, karena belum ada kejelasan yang eksplisit dari pemerintah terkait poin 3 ini.

Apakah ketika masyarakat mengeluh dan mengkritik kebijakan pemerintah maupun Lembaga Negara akan dikenakan Hukum Pidana? Atau tetap dalam lindungan Konstitusi.

Dalam hal ini secara tidak langsung Pemerintah mencoba membatasi khalayak menyampaikan kebebasan berpendapat di muka umum, dan ini sangat bertentangan dengan UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi UU tersebut.

Hal ini pun sudah dijamin oleh UUD 1945 pasal 28E ayat 3 dan sah secara konstitusional.

Belum lagi dengan poin ke 7 tentang Contempt Of Court yang berkaitan dengan mempertunjukan atau menempelkan sebuah tulisan sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan sehingga terdengar oleh khalayak orang, atau menyebarkannya lewat sarana elektronik yang menyinggung dan merendahkan Pejabat Publik maupun suatu Lembaga, Akan dikenakan hukum pidana paling lama 4 tahun dan dikenakan pidana denda senilai 500 Juta.

Jika kita analisa lebih lanjut, sadar ataupun tidak sadar, Pemerintah saat ini mencoba menerapkan sistem Orde Baru atau Orba dengan kemasan yang kebih berbeda. Contohnya dengan cara mempressure kebebasan masyarakat, mirip dengan jaman orba melalui Rancangan Kitab Undang-undang yang bermasalah ini.

Dari persoalan ini, sangat tidak merefleksikan Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem Demokrasi dan mencoba mengesampingkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai Falsafah ataupun ideologi suatu bangsa yang merdeka.

Padahal dalam UU 1999 pasal 14 sudah menjelasakan bahwa “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”

Itu pun bagian dari produk Hukum Tertinggi Negara ini yakni UUD 1945.

Dari hal ini, maka bukan saja kebebasan masyarakat yang akan ditekan oleh Pemerintah melainkan kebebasan Pers sebagai wadah informasi Publik pun akan dibatasi.

Seyogyanya DPR RI selaku legislator dan representatif masyarakat banyak harus berperan. Membuka sebesar-besarnya untuk menerima masukan dari publik terutama dari pakar Hukum dan Akademisi, melihat RKUHP ini adalah warisan dari masa kolonial. Sehingga sampai kapanpun nilai-nilai luhur Pancasila dan Ruh dari Demokrasi itu sendiri tetap terjaga.

Tinggalkan Balasan