Mengenang Tragedi Semanggi, Kepalan Tangan Kiri Sumarsih Tetap Tegak Perjuangkan Keadilan

Profil

Infomassa – Di antara jajaran tokoh perempuan revolusioner kita seperti Kumahalayati, Marsinah, Cut Nyak Dien, Rohana Kudus, ada satu nama perempuan mencuat dengan tangan kirinya yang selalu tegak dan sampai mati pun tidak ada kata tuntas baginya. Ia adalah Maria Katarina Sumarsih, keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus mencari keadilan pada negara atas tragedi berdarah Semanggi 1 pada 13 November 1998 atau 23 tahun lalu.

Sosoknya mulai rapuh dengan rambut yang telah memutih dan mengenakan baju hitam setiap hari, kerutan di wajahnya seolah menyimpan kemarahan tentang negara yang memperlakukan manusia secara tidak adil, tangan kirinya selalu di angkat keatas menjulang ke langit dengan emosinya yang meluap tak bisa terbendung.

Secara buah pemikiran memang Sumarsih tidak seperti tokoh-tokoh perempuan revolusioner lainnya, namun dalam pancaran mata serta raut wajah keriputnya, seperti ada sesuatu yang kuat di dalam dirinya. Sebuah kekuatan, ketulusan, serta kejujuran untuk mengungkapkan kebenaran.

“UJUNG PERJUANGAN AKU, HARAPAN AKU, SUPAYA DI NEGERI INI TIDAK TERJADI PELANGGARAN HAM LAGI,” SUMARSIH.

Maria Katarina Sumarsih, atau biasa Sumarsih. Ia adalah ibu dari BR Norma Irawan (Wawan), korban tragedi Semanggi 1. Pasca tragedi Semanggi 1998, Ia aktif turun ke jalan hingga sekarang. Saat awal dirinya ikut terlibat dalam aksi damai menuntut keadilan atas pelanggaran HAM di Bunderan HI setiap hari jum’at, aktivitas itu tidak berangsur lama dikarenakan dirinya di tuduh bagian dari Gerwani, Sayap Organisasi PKI.

Sumarsih adalah sosok perempuan pemberani, bertahun-tahun ia bersama keluarga korban lainnya Tragedi Transaksi, Semanggi I dan II (TSS) berjuang menuntut keadilan di Republik ini atas peristiwa yang di alami korban pelanggaran HAM.

Selain Sumarsih, Asih Widodo, ayah dari Sigit Prasetyo yang juga menjadi korban penembakan secara brutal dengan timah panas oleh aparat di peristiwa Semanggi, setiap kali demonstrasi, Widodo selalu menggunakan jaket merah bertuliskan, ‘Anak Ku Sigit Prasetyo, Mati Dibunuh TNI, Di Semanggi’.

Baginya, kebenaran harus terus di perjuangkan sebagaimana jargon yang melekat padanya, ‘RAWE-RAWE RANTAS MALANG-MALANG PUTUNG’.

“Kalau nyawa masih melekat di badan aku, aku tidak akan berhenti menuntut sampai ke ujung dunia,” ujarnya sambil mengepalkan tangan kiri.

Ulas Balik Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi berlangsung dari mulai tanggal 11 dan pecah di tanggal 13 November 1998. Dalam tragedi tersebut terpampang jelas bagaimana sikap yang dilakukan oleh aparat bersenjata kepada massa aksi, bahkan menghujani timah panas yang ditembakkan secara brutal.

Lengsernya Soeharto bukan berarti berakhirnya kekuatan Orde Baru. Kekuatan yang di bangun selama 32 tahun berkuasa telah banyak melahirkan produk dan kaki tangannya, termasuk dalam proses pembuatan pemerintahan baru.

Pada masa transisi pemerintahan baru dengan menggelar sidang istimewa yang menjadikan BJ Habibie sebagai Presiden dan para anggota DPR/MPR masih berbau Orde Baru, hal ini lah yang menjadikan mahasiswa beserta elemen lainnya menolak sidang istimewa dan menuntut pembersihan pemerintah dari kelompok Orde Baru, penghapusan Dwifungsi ABRI sebagai bentuk keterlibatan militer terhadap politik dengan turun ke jalan.

Pada tanggal 11, masa rakyat yang tergabung dari mahasiswa dan elemen masyarakat melakukan demonstrasi besar-besaran yang bergerak dari Salemba, lalu terjadi bentrokan dengan Pamswakarsa (masyarakat sipil bentukan TNI) di komplek tugu Proklamasi.

Kemudian pada esok harinya, ratusan ribu mahasiswa dan peserta demonstrasi lainnya bergerak menuju gedung DPR/MPR. Namun mereka tak berhasil menerobos barikade petugas. Bagaimana tidak, satuan dari TNI, Brimob, dan Pamswakarsa bersatu untuk menghadang massa, bentrokan pun terjadi kembali.

Puncaknya terjadi 13 November, 22 tahun lalu atau pada 1998. Mahasiswa dan masyarakat bergabung menuju Semanggi. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan hingga puluhan ribu. Namun tentunya aparat juga tak kalah persiapan. Kendaraan lapis baja dikerahkan untuk membendung massa. Hal itu membuat masyarakat tarik mundur, namun para mahasiswa memilih bertahan. 

Bentrokan Berdarah

Ketika mahasiswa bertahan, saat itulah aksi brutal terjadi. Petugas keamanan membredel mahasiswa yang memilih untuk bertahan yang berakibat jatuh korban tergeletak di jalan. 

Korban pertama yang diketahui meninggal dunia yakni seorang mahasiswa bernama Teddy Wardhani Kusuma. Korban kedua penembakan adalah Bernadus R Norma Irawan, ia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya. Bernadus tertembak di dadanya dari arah depan saat menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya.

Mengutip berbagai sumber, penembakan tersebut terjadi dari pukul 3 sore hingga sekitar jam 2 pagi. Massa yang terus datang membuat pihak aparat melemparkan gas air mata. Tragedi tersebut menyebabkan 15 orang meninggal, 7 mahasiswa dan 8 warga. 

Balutan Kebohongan Burhanudin

Tragedi Semanggi akhirnya dibawa ke meja bundar. Namun boro-boro menangkap pelaku penembakan apalagi mengungkap dalangnya, Jaksa Agung Burhanuddin malah menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebut tak terjadi pelanggaran berat.  

Mengutip Kompas, baru-baru ini keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II menggugat pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin ke PTUN Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkan setelah Burhanuddin mengatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat.

Pihak keluarga korban yang melayangkan gugatan yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap. 

Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM dalam rapat kerja dengan Komisi III pada pemaparan terkait perkembangan penanganan kasus HAM pada Januari 2020.  Namun Burhanuddin tak menyebutkan kapan rapat paripurna DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran HAM berat.

“Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat,” kata Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan. 

Namun pertanyaan itu kini terbantah sudah. Dikutip dari Tirto, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang dipimpin Hakim Ketua Majelis Andi Muh. Ali Rahman, memutuskan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bersalah karena menyatakan Tragedi Semanggi I dan II ‘bukan merupakan pelanggaran HAM berat’ dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.

“Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan tergugat adalah perbuatan melawan hukum oleh pada dan/atau pejabat pemerintahan,” tertulis dalam isi vonis.

Selain melawan hukum, dalam pertimbangannya hakim Andi Muh. Ali Rahman juga menilai pernyataan Burhanuddin mengandung asas kebohongan (bedrod).

Tinggalkan Balasan