Peran Belanda Dalam Ketokohan R.A. Kartini

Profil

Reporter : A. Rosyid Warisman

infomassa.com – Tanggal 21 April merupakan momen di mana telah ditetapkannya sebagai perayaan R.A Kartini, Hari Besar Nasional serta menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 2 Mei 1964, kemudian tanggal 21 April di pilih berdasarkan hari lahir Kartini di Jepara, 21 April 1879.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hegemoni 21 April selalu melekat pada lapisan masyarakat sebagai Hari Kartini, adapun karena sosok Kartini telah di tetapkan sebagai Pahlawan dan momentum kebangkitan emansipasi perempuan Indonesia.

Namun sejauh ini publik kurang mempertanyakan mengapa sosok Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, kemudian jika mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 ada beberapa kriteria seseorang yang akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Berbagai prosedur yang harus ditempuh, tentu tidak semua orang bisa langsung dengan mudah mengajukan seseorang untuk mendapat gelar pahlawan nasional, walaupun sang tokoh yang bersangkutan dikenal dan layak mendapatkannya.

Hal ini berkaitan erat dengan beberapa faktor penting yang mengiringi perjalanan hidup tokoh yang bersangkutan baik dalam bidang sosial, budaya, politik, dan pendidikan ataupun gerakan keagamaan.

Berawal Dari Surat 

Seorang Kartini jika tanpa publikasi bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” mungkin tidak akan fenomenal. Buku tersebut merupakan kumpulan surat yang ditulis oleh kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Kumpulan surat tersebut di bukukan oleh J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dengan Judul ‘Door Duisternis Tot Licht’ yang diartikan, ‘Dari kegelapan Menuju Cahaya’. Kemudian Armijn Pane (1968) salah seorang sastrawan pujangga baru, menterjemahkan buku tersebut dengan judul, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.

Kartini Sebagai Obyek Kepentingan Belanda

Sebuah Newsroom Blog, Zen RS (2013) memberikan data-data yang cukup menarik terkait kepentingan polik (Political Interest) tingkat tinggi yang menetapkan Kartini sebagai pahlawan.

Ada hal yang harus diketahui bersama bahwa narasi Kartini begitu kental dengan berbagai kepentingan politik etis Belanda. Bahkan Zen RS secara telanjang mengatakan dengan data-data sejarah bahwa Kartini bikinan orang-orang Belanda yang menjadikannya justru menjadi problematik karena sekedar hanya menjadi obyek belaka.

Kartini memang telah menjadi figur publik sejak ia mulai menulis surat dan mengirimkan kepada teman-temannya yang ada di Belanda. Selepas ia meninggal pada 31 Desember 1904, beberapa surat kabar memberitakannya cukup intens. Narasi Kartini semakin menguat menyusul penerbitan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh JH Abendanon pada 1911 di Belanda. Mencengangkan, buku tersebut mendapat respon publik yang luar biasa. Awalnya buku tersebut hanya diedarkan di Belanda lalu kemudian merembet ke Hindia Belanda, bahkan sejumlah surat kabar turut andil dalam menyebarkan berita dan iklan-iklan tentang buku itu.

Tentunya semua itu bagian dari kepentingan politik etis pemerintah Belanda yang dicanangkan sejak 17 September 1901 untuk menutupi keserakahan, perampokan, dan kekerasan yang telah dilakukan selama kebijakan sistem kerja paksa yang telah merenggut banyak nyawa, sekitar Seratus Ribu lebih penduduk Bumi Putera. Sehingga menjadi pembicaraan yang serius di parlemen Belanda. (Dri Arbanngsih, 2005: 74-75).

Pada masa itu Belanda sangat berkepentingan dalam memunculkan pribadi yang maju dari bangsa jajahan demi kepentingan kampanye politik etis mereka, hal itu dilakukan untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial tidak kalah dengan Inggris di Hindia, dalam hal ini, memajukan rakyat terjajah untuk memberikan citra bahwa penjajah Belanda juga beradab.

Maka dari situlah awal gerakan memajukan rakyat terjajah dilakukan melalui pendidikan dengan membuat Yayasan Kartini. Salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Peristiwa tersebut mendapatkan liputan besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di Belanda.   Dalam arsip di surat kabar Der Leeuwarder Courant (terbit sejak 1752) yang melaporkan secara khusus Sekolah Kartini pada edisi Minggu, 21 Juni 1913. Laporan berjudul Kartini Scholen dan di muka halaman menyebutkan bahwa Yayasan Kartini akan menjadi organisasi yang tersebar di seluruh negeri untuk memajukan pendidikan di negeri jajahan Hindia Belanda.

Selanjutnya dalam ketokohan Kartini sebagai pejuang emansipasi memang tidak lepas dari politik pencitraan kolonial Belanda terkait dengan sistem politik etisnya. Sampai di sini sulit disangkal bahwa kepahlawanan Kartini sarat dengan politik citrawi. Padahal jika coba membaca surat-surat Kartini dengan lebih peka, dengan mudah dapat dipahami bahwa Kartini menemukan banyak keraguan, kebimbangan, kekalahan, dan penderitaan.

Sampai disini sungguh Kartini telah menjadi obyek dengan berbagai narasi yang penuh dengan dinamika. Maka bagi Pramoedya Ananta Toer (2003), sosok Kartini adalah prototipe manusia Indonesia yang sudah memiliki spirit anti-feodalisme dalam pikiran maupun tindakannya. Namun sayang Kartini korban politik kolonial dan cenderung di sederhanakan oleh Abendanon. Kartini hanya di tampilkan sebagai pribadi yang peduli dengan pendidikan dalam konteks politik etis kolonial yang mengedepankan gagasan politik asosiasi yakni kerjasama yang mesra antara rakyat terjajah dan penjajahnya.

832 thoughts on “Peran Belanda Dalam Ketokohan R.A. Kartini

  1. «Ходячие мертвецы» — постапокалиптический хоррор, создателем которого выступил номинант на премию «Оскар», режиссер Фрэнк Дарабонт Ходячие мертвецы 11 сезон Все сезоны сериала Ходячие мертвецы смотреть онлайн в хорошем качестве HD 1080