Direktur Institut Kajian Energi, Akhmad Yuslizar, mengatakan wacana revisi UU migas sudah sejak lama mendorong BP Migas dibubarkan.
Menurutnya Revisi UU Migas no 22 tahun 2001 wajib dipercepat. Sebab, Investor menunggu kepastian hukum untuk berinvestasi.
“Yang bertugas mengatur hulu migas tidak ada. Baru tahun 2013 SKK migas berdiri dengan basisnya Perpres,” kata Yos, sapaannya dalam seminar bertajuk ‘Target 1 Juta Barel dan Revisi UU Migas No. 22 Tahun 2001 Untuk Ketahanan Energi Nasional di bilangan Tangerang Selatan, Kamis 15/12.
Kondisi inilah kata Yos lagi, yang membuat lifting migas tidak maksimal karena peraturan yang mengatur hulu migas terbengkalai.
“Untuk mengejar target atau menambah lifting migas, harus ada revisi UU migas untuk menarik investor asing,” tandasnya wartawan senior itu.
Tujuannya, jelas Yos, biar ada kepastian hukum soal investasi migas yang berujung pada naiknya lifting migas.
“Saat ini masih ada ratusan cekungan minyak di Indonesia. Pertamina tidak bisa sendirian, butuh investor asing. Jadi, tentu harus ada UU migas pengganti,” tegas dia.
Sementara itu, wartawan senior Sofyan Badri mengatakan UU Migas pengganti harus ramah terhadap investasi. Para pengusaha butuh kepastian hukum.
“Dukungan atau suasana iklim investasi yang sehat perlu sekali. Jadi revisi UU Migas No 22 tahun 2001 adalah keharusan. Sayang sekali terjadi tarik menarik. Tidak ada titik temu soal badan pengelolaan migas,” tandas Sofyan.
Sofyan juga mengungkapkan banyak investor migas asing yang wait and see untuk menunggu kepastian revisi ini.
“Jadinya stake holder negara yang urus produk hukum migas wajib melakukan pemercepatan UU ini,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Presnas 98 Banten, Mohamad Sopian mempertanyakan kegagalan DPR memproduksi produk hukum pengganti UU Migas no 22 tahun 2001.
“Harusnya ada semangat utk memproduksi UU migas yg baru. Ini kok soft sekali ya,” ungkap Sopiyan.
Dirinya meminta agar lembaga terkait segera untuk membangun iklim yang sehat agar UU Migas baru bisa tercipta.[]