Hilangnya marwah Kuantan Singingi

Opini

Editor: Mauladi Fachrian

Teluk Kuantan – Kuantan Singingi tersebutlah Kuantan dan Singingi, yang mana terdapat beragam suku dan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat selama bertahun-tahun dan berabad-abad lamanya. Ini sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi menjunjung tinggi adat yang mereka anggap sakral sebagaimana warisan nenek moyang mereka terdahulu.

Sejarah Kuantan dan Singingi ini menuai sejarah yang panjang hingga terbentuknya Nagori yang dianggap kaya adat dan tradisi sampai saat ini masih dipercayai dan dijalankan hingga saat ini. Inilah yang disebut dalam bidal adat ‘tak lokang dek pane, tak lapuak dek ujan, dibubuik indakan layua dianjak indakkan mati’.

Bicara tentang adat adalah hal sangat sakral yang menjadi tuntutan hidup dan warisan sangat berharga dari para leluhur Kuantan dan Singingi. Daerah ini terdapat berbagai macam suku yang berbeda di setiap kenogorian. Dari suku-suku tersebut ada pemimpinnya, mereka menganggap pemimpin mereka adalah Datuk. Inilah yang mengatur sukunya di kenogorian yang mereka tempati.

Penempatan gelar Datuk ini mereka lakukan secara ranji dengan bahasa istilahnya ‘ome bayiak tambang singingi, kalam di angkek lancuang dibuang, supayo nak tumbua awuar di mato, jangan arok godang dek baju tinggi dek songkok’, secara adat turunan gelar datuk ini dari mamak ke kemanakan yang mereka anggap pantas menerima gelar datuk. Bahasa dalam adatnya ‘kok kenek ditunggu godang, kok godang ditunggu barakal‘, artinya tidak semerta-merta memberikan nama gelar datuk kepada kemanakan yang belum mampu mengemban amanah, karena yang akan dipimpin adalah Nagori yang dilawan adalah adat. Jika ada yang melanggar akan didaulat kena sumpah sotiah ‘kate tak bapucuak, kabawah tak ba urek ditongah-tongah diguriak kumbang, bak karakok tumbuah dibatu, hiduik sogan mati tak omuah”.

Seorang datuk harus bisa memberi contoh dan suri tauladan yang baik untuk masyarakat nogori ‘kok pakai celana tak bulia celana pendek, kok mangecek bamartabat’, begitulah sekiranya gelar yang di emban seorang datuk yang begitu sakral.

Namun dengan pergeserannya, waktu berubah secara drastis, gelar datuk bukan lagi diberikan mamak kepada kemanakan yang mereka anggap pantas. Gelar datuk sudah diambil alih oleh para politikus guna melancarkan segala misinya untuk mencapai kekuasan yang mereka anggap ketokohan. Kadang kala gelar datuk diberikan sebagai hadiah untuk seseorang yang mereka anggap berjasa secara kebutuhan politisnya atau mungkin sebagai pujian untuk atasannya agar mereka mendapat posisi yang aman.

Disinilah hilangnya marwah adat istiadat yang di yakini bertahun-tahun lamanya oleh masyarakat Kuantan dan Singingi, yang di katakan datuk tidak hanya lagi seorang yang orang yang secara ranji ‘ome bayiak tambang singingi’, tapi nama ‘datuk’ sudah diberi seperti penghargaan rasa kagum atau juga mencari ketokohan dalam mengamankan posisi.

Kuantan dan Singingi yang dahulu ramah tamah dengan adat istiadatnya, kini sepeti kehilangan marwah karena datuk hanya seperti simbolis, mereka bukan lagi seperti orang yang di anggap ‘Bisa manjonin air nen korua, manyalosaik bondo nen kusuik’. seharusnya yang paling tinggi dalam sebuah kanagorian bukan polisi, bukan tentara, bukan bupati, bukan camat, bukan kepala desa. yang paling tertinggi adalah datuk yang menjaga kanagorian dengan aturan adat istiadatnya.

Gelar datuk sah-sah saja diberikan kepada siapa yang dianggap pantas, tentu bukanlah orang yang sembarangan untuk dijuluki atau dinobatkan. Sebab, gelar datuak diberikan kepada seseorang yang sangat berjasa untuk negeri (nogori). Dalam sebuah riwayat cerita Kuantan dan Singingi, ‘suatu ketika pada zaman dahulu penduduk nogori sintuo digemparkan dengan sosok ular besar (naga) tidak ada satupun orang yang mampu utuk membunuh naga tersebut, sehingga datanglah suatu ketika seseorang yang bernama sang sapurba. Dialah yang mampu membunuh ular besar tersebut, penduduk Nogori pun bersyukur atas jasa sang sapurba yang telah mampu membunuh ular besar tersebut, sang Sapurba pun diberi gelar kehormatan, sebagai mana cerita singkatnya dalam bahasa daerah Kuantan dan Singingi’.

Musim baganti tahun bajalan, hilang generasi hilang pedoman, jojak lamo kurang bakosan, kosan dilisan nan balainan, akhirnyo hilang ditelan zaman. Datanglah tamu kehormatan, sang Sapurba urang namokan, katiko Nogori dalam ancaman, ular nago nan mambuek ketakutan, terhadap anak cucu kemenakan. Datuk nan batigo (datuk bandaro lelo budi, datuk simambang dan datuk pobo) mintak pertolongan, kapado tamu nan baru tibo, manjadi rajo jadi tawaran, kalau bisa mambunuah si ular nago. sang sapurba bukan datang sendirian, cukuik jo cati bilang pandai, datang dari Nogori India Selatan, sampai ke sintuo memudiki sungai. dihunus kori si ganjar iyas, manikam kapalo nago bagian atas, mambuek sang sapurba berhati puas, nago sikatimuno mati dan lemas. Sang Sapurba diangkek manjadi rajo di Nogori sintuo tanah pisoko sebagai penghornatan, sapuluah tahun bakuaso, dari mambuek sumur rajo, sampai mamaliharo buayo di paruso. Setelah sapuluah tahun manjadi rajo, sang sapurba mohon diri kapado datuak nan batigo, melanjutkan perjalanan memudiki sungai koruah, sampai ka Nogori bungo setangkai.

Diera tahun 1980-an masih hangat dalam ingatan orang-orang tua kita, yaitu pemberian gelar datuk bandaro lelo budi kepada Gubenur Riau Imam Munandar, sampai-sampai satu-satunya keris pusaka datuk bandaro lelo budi diselipkan dipinggangnya, yang sampai saat ini tidak diketahui lagi keberadaannya. Sehingga orang Kuantan dan Singingi merasa kehilangan. pemberian gelar kehormatan adat inipun tidak jelas sebab musababnya.

Penabalan gelar kehormatan adat mungkin akan ada lagi di masa mendatang, namun perlu dikaji atas dasar apa gelar itu disematkan. jangan sampai gelar kehormatan adat itu ditabalkan kepada orang yang tidak tepat, orang yang tidak memberikan jasa apa-apa terhadap kemaslahatan negeri ini, yang sudah-sudahlah, ‘salah buek kan dimakan buek, nan babari nan kan dimakan paek, nan bungkuak kan dimakan tali, arang tacuriang di koniang, muko tak bisa disuruakkan. Alang tukang binaso kayu, alang alim rusak agamo, alang codiak binaso adat, alang arif binaso tubuah, lain padang lain belalang, lain lubuak lain ikannyo, di kuantan singingi, indak ado padang nan ba lalang cadak, indak ado lubuak nan baikan limbek.

Baapo nan belalang cadak, kapalo tunduak tangan kamuko, bakuku tajam, mancari makan di hari nan malam. baapo nan ikan limbek, lain picak ikur dengan picak kapalo, basongek tajam mancari makan di ayir nan koruah.
patiti panenan andai gurindam panenan kato jadi pemimpin kalau tak pandai
cayiar nogori kampuang binaso gopuak nan usah mambuang lomak, tukang nan tidak mambuang kayu, codiak nan tidak manjual adat. [Warih nan bajawek, pituah nan batarimo].

Semoga Kuantan dan Singingi kembali dengan tata krama, dan sopan santunnya, menghragai penempatan datuk secara patut ‘Ome bayiak tambang singingi’, bukan memberi nama datuk untuk sebagai penghargaan belaka, apalagi untuk kepentingan politik. Nama datuk adalah nama sakral untuk kenogorian yang mesti kita jaga dan kita tempatkan untuk yang tepat dalam ranji adat atau orang berjasa di kuantan dan singingi.

1 thought on “Hilangnya marwah Kuantan Singingi

Tinggalkan Balasan