Mustar: Tragedi Kelam Masa Lalu Tidak Boleh Terulang Lagi

Nasional

Info Massa – Ketua Front Pembela Rakyat Indonesia (FPRI) Mustar Bona Ventura, sangat berharap, Peristiwa Kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM tidak boleh terjadi lagi.

Hal itu, disampaikan Mustar saat diskusi publik mengenang peristiwa Kudatuli kemarin. Menurutnya, kekerasan-kekerasan terjadi karena ada pemicu yang mengawalinya. Contohnya, bentrokan dua kelompok yang terjadi pada 27 Juli 1996.

“Tragedi Kelam Masa lalu Kudatuli untuk alasan apapun tidak boleh terulang di masa depan,” ujar Mustar dalam sebuah diskusi publik mengenang Peristiwa Kudatuli, Minggu 28/07.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus menyoroti kondisi Indonesia yang mirip seperti tahun 1996-1998. Menurut Petrus, hasil dari reformasi sekarang telah porak poranda.

“Diskusi ini sangat menarik karena kita berada pada posisi sepertinya posisi pada 96-98. Posisi kita hari ini seperti itu,” kata Petrus.

Dulu, kata Petrus, rakyat berhasil mengusung reformasi sembari menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

“Kenyataannya hasil-hasil reformasi itu belakangan hari ternyata diporakporandakan oleh Jokowi. Kita tahu Jokowi tidak berkeringat dalam perjuangan reformasi, sampai kita menghasilkan banyak hal sebagai perubahan dari sistem Orde Baru ke sistem Reformasi,” terang Petrus.

Menurut Petrus, ada dua pelanggaran pada peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal Kudatuli. Yakni pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Aspek pelanggaran hukum memang pada waktu awal-awal reformasi, itu posisi kini berjalan bagus. Banyak orang, banyak pelaku dari unsur TNI-Polri yang jadi tersangka, pelaku dari unsur DPP PDI, Soerjadi juga jadi tersangka, berkas perkaranya dilimpahkan  ke kejaksaan, tetapi perkaranya tidak pernah diteruskan ke pengadilan,” terang Petrus.

Petrus pun menyinggung soal banyaknya pihak yang mempertanyakan alasan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden tidak melakukan intervensi terhadap peristiwa tragedi 27 Juli.

 “Mengapa kasus ini pada waktu Ibu Megawati sebagai Presiden, kasus ini sepertinya tidak diintervensi, tidak disebut, karena Presiden Ibu Megawati tidak mau dituduh menyalahgunakan kewenangannya dalam kasus ini. Itu pertimbangannya mengapa kasus ini selama pemerintahan Ibu Megawati kasus ini jalan di tempat,” pungkas Petrus.

Sementara itu Aktivis 98 Firman Tendry mengingatkan bahwa sejarah terus berulang dan harus ada tokoh reformasi yang lahir kembali.

Melahirkan pemimpin baru, lanjut Tendry adalah dengan cara mendidik rakyat. Tendry mengingatkan kembali perkataan Bung Karno.

“Kata Bung Karno ‘datangi lah jantung-jantung rakyat, bukan hanya dengar penderitaannya tapi ajarkan mereka tentang perlawan yang sesunguhnya,'” kata Tendry.

Turut hadir narasumber lainnya, yakni Aidil Fitri aktivis Kudatuli, Dhia Prekasha Yoedha selaku jurnalis senior, Bob Randilawe dari SPIPD, dan Ronald Mulia Sitorus selaku Ketua Posko Pemuda Mahasiswa.

Pembunuhan Demokrasi

Sejumlah narsum yang menjadi korban mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 sekitar 28 tahun lalu adalah peristiwa yang sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena telah menjadi peristiwa yang sangat represif dan banyaknya korban berjatuhan.

“Peristiwa itu juga sebagai tanda secara terbuka terjadi pembunuhan terhadap demokrasi dari elit penguasa saat itu,”

Peristiwa yang terjadi sebelum jatuhnya rezim orde baru itu adalah peristiwa kelam yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.

Oleh karena itu, mereka mendesak jika para korban, aktivis, akademisi, kelompok civil society dan pro demokrasi menyampaikan petisi bahwa untuk menyelesaikan peristiwa kelam 28 tahun lalu itu dibutuhkan segera dibentuk pengadilan HAM Berat adhoc untuk mengadili aktor-aktor pelaku peristiwa 27 Juli 1996.

“Rezim Jokowi gagal menegakan keadilan dan gagal menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan bermesraan dengan para aktor peristiwa 27 Juli 1996. Kami akan terus berjuang untuk menegakan keadilan dan kemanusiaan sampai kapanpun,”

Ditempat yang sama, Yadhi Basma, salah seorang aktivis 98 asal Sulteng menceritakan sedikit pengalamannya saat peristiwa 27 Juli silam. “Tahun 96 dulu, saya dan teman-teman aktivis dari Palu masuk Jakarta naik kapal barang demi satu tujuan, solidaritas dan bangkitkan semangat perlawanan terhadap rezim Presiden Soeharto pada masa itu,” kata salah seorang yang ikut mendirikan Pena 98 bersama Adian Napitupulu ini. []

Tinggalkan Balasan